Pengertian Wacana Dan Analisis Wacana
Menurut Douglas dalam Mulyana (2005: 3), istilah wacana
berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, yang artinya berkata,
berucap. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan bentuk menjadi wacana.
Kridalaksana dalam Yoce (2009: 69) membahas bahwa wacana
adalah satuan bahasa terlengkap dalam hirearki gramatikal tertinggi dan
merupakan satuan gramatikal yang tertinggi atau terbesar. Wacana direalisasikan
dalam bentuk karangan yang utuh, seperti novel, cerpen, atau prosa dan puisi,
seri ensiklopedi dan lain-lain serta paragraph, kalimat, frase, dan kata yang
membawa amanat lengkap. Jadi, wacana adalah unit linguistik yang lebih besar
dari kalimat atau klausa.
Menurut Kamus Linguistik Dewan Bahasa dan Pustaka (1997)
dalam Tengku Silvana Sinar (2008: 5), wacana diterjemahkan sebagai discourse
yaitu unit bahasa yang lengkap dan tertinggi yang terdiri daripada deretan
kata atau kalimat, sama ada dalam bentuk lisan atau tulisan, yang dijadikan
bahan analisis linguistik.
Kata wacana berasal dari kata vacana ‘bacaan’ dalam
bahasa Sansekerta. Kata vacana itu kemudian masuk ke dalam bahasa Jawa
Kuna dan bahasa Jawa Baru wacana atau vacana atau’ bicara, kata,
ucapan’. Kata wacana dalam bahasa baru itu kemudian diserap ke dalam bahasa
Indonesia menjadi wacana ‘ucapan, percakapan, kuliah’ (Poerwadarminta 1976:
1144).
Kata wacana dalam bahasa indonesia dipakai sebagai padanan
(terjemahan) kata discourse dalam bahasa inggris. Secara etimologis kata
discourse itu berasal dari bahasa latin discursus ‘lari kian
kemari’. Kata discourse itu diturunkan dari kata discurrere. Bentuk discurrere
itu merupakan gabungan dari dis dan currere ‘lari, berjalan
kencang’ (Wabster dalam Baryadi 2002:1). Wacana atau discourse kemudian
diangkat sebagai istilah linguistik. Dalam linguistik, wacana dimengerti
sebagai satuan lingual (linguistic unit) yang berada di atas tataran
kalimat (Baryadi 2002:2).
Wacana adalah 1. rentetan kalimat yang berkaitan, yang
menghubungkan preposisi yang satu dengan preposisi yang lainnya, membentuk satu
kesatuan sehingga terbentuklah makna yang serasi diantara kalimat-kalimat itu;
2. kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat
atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, yang
mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau
tertulis (J.S Badudu dalam Eriyanto, 2001: 2).
Secara garis besar, dapat disimpulkan pengertian wacana
adalah satuan bahasa terlengkap daripada fonem, morfem, kata, klausa, kalimat
dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, yang mampu
mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis ini
dapat berupa ucapan lisan dan dapat juga berupa tulisan, tetapi persyaratanya
harus dalam satu rangkaian dan dibentuk oleh lebih dari sebuah kalimat.
Dardjowidjojo dalam Mulyana (2005: 1) menerangkan bahwa
kajian wacana berkaitan dengan pemahaman tentang tindakan manusia yang
dilakukan dengan bahasa (verbal) dan bukan bahasa (nonverbal). Hal ini menunjukkan,
bahwa untuk memahami wacana dengan baik dan tepat, diperlukan bekal pengetahuan
kebahasaan, dan bukan kebahasaan (umum).
Sebagai objek kajian dan penelitian kebahasaan, wacana dapat
diteliti dari berbagai segi. Analisis wacana mengkaji wacana baik dari segi
internal maupun eksternalnya. Dari segi internal, wacana dikaji dari jenis,
struktur, dan hubungan bagian-bagian wacana; sedangkan dari segi eksternal,
wacana dikaji dari segi keterkaitan wacana itu dengan pembicara, hal yang
dibicarakan dan mitra bicara.
Aspek-aspek yang terkandung didalam wacana menyuguhkan
kajian yang sangat beragam. Penelitian tentang wacana masih banyak berkutat
pada persoalan kebahasaannya secara internal. Belum banyak penelitian yang
mengeksplorasi wacana dari segi eksternalnya, seperti sosial, sastra, budaya,
ekonomi dan lain-lain.
Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai di
dalam berbagai disiplin ilmu dengan berbagai pengertian.Titik singgung analisis
wacana adalah studi yang berhubungan dengan pemakaian bahasa. Menurut A.S Hikam
dalam Eriyanto (2001: 4) ada tiga paradigma analisis wacana dalam melihat
bahasa. Pertama, pandangan positivisme-empiris; kedua, pandangan konstruktivisme;
dan ketiga pandangan kritis.
Lukmana, Aziz dan Kosasih (2006: 12) mengatakan bahwa
analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) mempunyai ciri yang
berbeda dari analisis wacana yang bersifat “non-kritis”, yang cenderung hanya
mendeskripsikan struktur dari sebuah wacana. Analisis wacana kritis (Critical
Discourse Analysis) bertindak lebih jauh, diantaranya dengan menggali
alasan mengapa sebuah wacana memiliki struktur tertentu, yang pada akhirnya
akan berujung pada analisis hubungan sosial antara pihak-pihak yang tercakup
dalam wacana tersebut. Analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) juga
merupakan kritik terhadap linguistik dan sosiologi. Tampak adanya kurang
komunikasi diantara kedua disiplin ilmu tersebut. Pada satu sisi, sosiolog
cenderung kurang memperhatikan isu-isu linguistik dalam melihat fenomena sosial
meskipun banyak data sosiologis yang berbentuk bahasa.
Analisis wacana kritis menyediakan teori dan metode yang
bisa digunakan untuk melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara
wacana dan perkembangan sosial dan kultural dalam domain-domain sosial yang
berbeda (Jorgensen dan Philips, 2007: 114). Tujuan analisis wacana kritis
adalah menjelaskan dimensi linguistik kewacanaan fenomena sosial dan kultural
dan proses perubahan dalam modernitas terkini (Jorgensen dan Philips, 2007:
116).
Fairlough dan Wodak dalam Eriyanto (2001: 7) berpendapat
bahwa analisis wacana kritis melihat wacana pemakaian bahasa dalam tuturan dan
tulisan sebagai bentuk dari praktik sosial. Wacana sebagai praktik sosial
menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu
dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik
wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi.
Dengan demikian, analisis wacana kritis merupakan teori
untuk melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan
perkembangan sosial budaya. Untuk menganalisis wacana, yang salah satunya bisa
dilihat dalam area linguistik dengan memperhatikan kalimat-kalimat yang
terdapat dalam teks (novel) bisa menggunakan teori analisis wacana kritis.
Teori analisis wacana kritis memiliki beberapa karakteristik dan pendekatan.
Konteks adalah sesuatu yang menjadi sarana untuk memperjelas
suatu maksud. Sarana yang dimaksud ialah bagian ekspresi yang mendukung
kejelasan maksud dan situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian. Konteks
yang berupa bagian ekspresi yang dapat memperjelas maksud disebut ko-teks (co-text).
Konteks yang berupa situasi yang berhubungan dengan kejadian lazim disebut
konteks (context) ( Hallyday,M.A.K & Hasan R, 1976 : 29; Rustono,
1999 : 20; Rani, dkk., 2006 : 16). Ko-teks dan konteks dalam analisis wacana
merupakan dua hal yang saling melengkapi. Dengan demikian, mengkaji wacana
sangat bermanfaat untuk memahami makna/maksud penggunaan bahasa yang sebenarnya.
Konteks wacana dibentuk oleh berbagai unsur,
yaitu situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa,
bentuk amanat, kode, saluran (Alwi 1998:421). Konteks wacana meliputi:
a. konteks fisis (physical
context) yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa pada suatu
komunitas, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi itu dan tindakan
atau perilaku dari pada peran dalam peristiwa komunikasi itu.
b. konteks epistemis (epistemic
context) atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh para
pembicara maupun pendengar.
c. Konteks linguistik (linguistic
context) yang terdiri atas kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang
mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu dalam peristiwa komunikasi.
d. Konteks sosial (social
context) yaitu relasi sosial dan latar setting yang melengkapi hubungan
antara pembicara (penutur) dengan pendengar
(mitra tutur).
Wacana memiliki dua unsur utama, yaitu unsur dalam
(internal) dan unsur luar (eksternal). Unsur internal wacana berkaitan dengan
aspek formal kebahasaan, sedangkan unsur eksternal wacana berkaitan dengan
unsur luar bahasa, seperti latar belakang budaya pengguna bahasa tersebut.
Kedua unsur itu membentuk suatu kepaduan dalam satu struktur yang utuh dan
lengkap (Paina, 2010: 53).
Unsur internal wacana terdiri atas satuan kata atau kalimat.
Yang dimaksud satuan kata ialah tuturan yang berwujud satu kata. Untuk menjadi
susunan wacana yang lebih besar, satuan kata atau kalimat tersebut akan
bertalian dan bergabung (Mulyana, 2005 : 9).
Unsur eksternal wacana adalah sesuatu yang juga merupakan
bagian wacana, tetapi tidak eksplisit, sesuatu yang berada di luar satuan
lingual wacana. Kehadirannya berfungsi sebagai pelengkap keutuhan wacana.
Unsur-unsur eksternal wacana itu terdiri atas implikatur, praanggapan,
referensi, dan konteks (Paina, 2010: 54).
Pendekatan analisis wacana kritis menurut Eriyanto terdiri
dari lima bagian yaitu analisis bahasa kritis, analisis wacana pendekatan
Prancis, pendekatan kognisi sosial, pendekatan perubahan sosial, dan pendekatan
wacana sejarah. Namun yang ingin dikaji oleh penulis disini hanya
karakteristiknya saja yang terdiri dari lima bagian.
1.
Tindakan
Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action) yang
diasosiakan sebagai bentuk interaksi. Wacana dipandang sebagai sesuatu yang
bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyangga, beraksi
dan sebagainya, Seseorang berbicara atau menulis mempunyai maksud tertentu,
baik besar maupun kecil. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang
diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau
diekspresikan di luar kesadaran.
2.
Konteks
Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana,
seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana di sini dipandang
diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Mengikuti
Guy Cook, analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi: siapa yang
mengkomunkasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi
apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi;
dan hubungan untuk setiap masing-masing pihak. Guy Cook menyebutkan ada tiga
hal yang sentral dalam pengertian wacana; teks, konteks, dan wacana.
Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar
kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar,
efek suara, citra dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang
berada di luar teks
3.
Historis
Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh
kalau kita bisa memberikan konteks historis di mana teks itu diciptakan.
Bagaimana situasi sosial politik, suasana pada saat itu. Oleh karena itu, pada
waktu melakukan analisis perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang
berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti
itu, dan seterusnya.
4.
Kekuasaan
Setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan
atau apa pun, tidak dipandang sebagai seusatu yang alamiah, wajar dan netral
tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Analisis wacana kritis tidak
membatasi dirinya pada detil teks atau struktur wacana saja tetapi juga
menghubungkan dengan kekuatan dan kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya
tertentu. Kekuasaan itu dalam hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat
apa yang disebut sebagai kontrol. Kontrol di sini tidaklah harus selalu dalam
bentuk fisik dan langsung tetapi juga kontrol secara mental atau psikis. Bentuk
kontrol terhadap wacana tersebut dapat berupa kontrol atas konteks, atau dapat
juga diwujudkan dalam bentuk mengontrol struktur wacana.
5.
Ideologi
Wacana dipandang sebagai medium kelompok yang dominan
mempersuasi dan mengkomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan
dominasi yang mereka miliki, sehingga tampak absah dan benar. Ideologi dari
kelompok dominan hanya efektif jika didasarkan pada kenyataan bahwa anggota
komunitas termasuk yang didominasi menganggap hal tersebut sebagai kebenaran
dan kewajaran.
Daftar Pustaka
Baryadi Praptomo. 2002. Dasar-dasar Analisis Wacana dalam
Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Gondhosuli.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks
Media. Yogyakarta: LKIS
Hasan Alwi. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi
3. Jakarta: Balai Pustaka.
Jorgensen, Marianne W. dan Louise J. Philips. 2007. Analisis
Wacana Teori dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lukmana dan E. Aminuddin Aziz dan Dede Kosasih. 2006. Linguistik
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mulyana. 2005. Kajian Wacana : Teori, Metode dan Aplikasi
Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Poerwadarminta, W. J. S. 1976. Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Silvana Sinar, Tengku. 2008. Teori dan Analisis Wacana :
Pendekatan Sistematik Fungsional. Medan: Pustaka Bangsa Press.
Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung:
Yrama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar