Kerajaan Gowa Dalam Sejarahnya
A.
Asal-Usul Dan Perkembangan Kerajaan Gowa
1.
Masa Sebelum Tumanurung
Sebelum zaman Tumanurung, ada empat raja yang pernah
mengendalikan Pemerintahan Gowa yakni : Batara Guru, saudara Batara Guru yang
dibunuh oleh Tatali (tak diketahui nama aslinya), Ratu Sapu atau Marancai dan
Karaeng Katangka (Nama aslinya tak diketahui). Keempat raja tersebut tak
diketahui asal-usulnya serta masa pemerintahannya. Tapi mungkin pada masa itu,
Gowa purba terdiri dari 9 kasuwiang ( kasuwiyang salapang) mungkin pula lebih
yang dikepalai seorang penguasa sebagai raja kecil. Setelah pemerintahan
Karaeng katangka, maka sembilan kerajaan kecil bergabung dalam bentuk
pemerintahan federasi yang diketuai oleh Paccallaya.
2.
Masa Tumanurung
Berdasarkan hasil penelitian
sejarah, baik melalui lontarak maupun cerita yang berkembang di masyarakat,
dapat diketahui bahwa munculnya nama Gowa dimulai pada tahun 1320, yakni pada
masa pemerintahan Raja Gowa pertama bernama Tumanurunga.
Diriwayatkan pada masa sebelum hadir Tumanurunga di
butta Gowa, ketika itu Gowa berbentuk kerajaan-kerajaan kecil yang mengikatkan
diri dalam bentuk persekutuan (Bondgenoot) atau pemerintahan gabungan (Federasi).
Kesembilan Kasuwiang disebut juga Kasuwiang
Salapanga atau “Sembilan kelompok kaum” yang mewakili masing-masing dalam
persekutuan. Berikut ini Kasuwiang Salapanga:
1)
Kasuwiang
Tombolo
2)
Kasuwiang
Lakiung
3)
Kasuwiang
Samata
4)
Kasuwiang
Parang-parang
5)
Kasuwiang
Data
6)
Kasuwiang Agang
Je’ne
7)
Kasuwiang
Bisei
8)
Kasuwiang
Kailing
9)
Kasuwiang
Sero
Kesembilan penguasa atau raja-raja kecil yang telah
membentuk sebuah gabungan diketuai oleh
seorang pejabat yang disebut paccallaya. Dialah yang bertindak sebagai
ketua pemerintahan gabungan atau federasi Gowa. Paccallaya ini merupakan
“ketua dewan” dari penguasa-penguasa yang bergabung
itu. Paccallaya juga bertindak sebagai hakim tertinggi, apabila
terjadi sengketa atau pertentangan di antara penguasa-penguasa yang bergabung
dalam federasi Gowa tersebut. Penguasa-penguasa itu berdiri sendiri dan bebas
mengatur pemerintahan di dalam daerahnya masing-masing (otonom).
Entah berapa lamanya pemerintahan gabungan itu
berjalan. Pada suatu waktu paccallaya dan penguasa-penguasa atau
raja-raja kecil itu berniat memiliki seorang pemimipin sebagai panutan. Namun
mereka juga tidak mau memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi raja
Gowa.
Walaupun mereka bersatu, namun kondisi tanah Gowa pada
masa sebelum hadirnya Tumanurunga senantiasa dilanda perang saudara antara Gowa
bagian utara dan Gowa bagian selatan seberang Jeneberang. Paccallaya sebagai
ketua federasi tak sanggup mengatasi peperangan tersebut. Hal tersebut karena
Paccallaya hanya berfungsi sebagai lambang yang tidak memiliki pengaruh kuat
terhadap anggota persekutuan yang masing-masing punya hak otonom dan untuk
mengatasi perang saudara tersebut, dibutuhkanlah seorang pemimpin yang
berwibawa dan kharismatik yang dapat diterima oleh kesembilan kelompok tersebut
untuk mengatasinya.
Diriwayatkan, terdengarlah berita oleh Paccallaya
bahwa ada seorang putri yang turun dari atas bukit Tamalate tepatnya di
Taka’bassia. Orang-orang yang berada di Bontobiraeng melihat seberkas cahaya
dari atas sebelah utara, bergerak perlahan-lahan turun menuju Taka’bassia
tepatnya persis di atas sebuah bongkahan batu perbukitan.
Kejadian itu cepat diketahui, Paccallaya bersama Kesembilan
Kasuwiang bergegas ke Taka’bassia. Disana mereka duduk mengelilingi cahaya
tersebut sambil bertafakkur. Serta merta dari cahaya menjelma wujud manusia,
seorang wanita cantik menakjubkan dengan memakai pakaian kebesaran yang
mengagumkan. Baik Paccalaya maupun Kasuwiang tak mengetahui nama putri
tersebut, sehingga mereka sepakat memberi nama Tumanurung Bainea atau Tumanurung,
artinya orang (wanita) yang tidak diketahui asal usulnya.
Karena putri ratu tersebut memiliki keajaiban, Paccallaya
dan kasuwiang salapangan kemudian bersepakat menjadikan Tumanurunga sebagai
raja, dan memberitahukan kepada orang-orang yang berperang agar menghentikan
pertempuran. Paccallaya kemudian mendekati Tumanurunga dan seraya menyembah
“Sombangku!” (Tuanku) kami semua datang di hadapan Tuanku, sudilah kiranya Tuanku
menetap di negeri kami dan Tuankulah yang merajai kami”. Permohonan Paccallaya pun
dikabulkan oleh Tumanurunga dan berseru kepada orang banyak yang hadir di
tempat itu, “Sombai karaengnu tu Gowa!” (sembahlah rajamu hai orang Gowa). Baik
Kasuwiang maupun warga yang ada di sekitar itu berseru “Sombangku”.
Setelah Tumanurunga resmi menjadi Raja Gowa pertama
pada tahun 1320 negeri Gowa kembali menjadi aman. Masa pemerintahan Tumanurunga
berlangsung sejak tahun 1320-1345. Diriwayatkan, Tumanurunga kemudian kawin
dengan Karaeng Bayo, yaitu seorang pendatang yang tidak diketahui asal usulnya.
Hanya dikatakan berasal dari arah selatan bersama temannya Lakipadada. Dari
hasil perkawinan tersebut lahirlah Tumassalangga Baraya yang nantinya
menggantikan ibunya menjadi raja Gowa kedua (1345-1370).
Menjelang abad XVI, pada masa pemerintahan Raja Gowa VI, Tunatangka Lopi, membagi wilayahnya menjadi dua bagian terhadap dua orang putranya, yaitu Batara Gowa dan Karaeng Loe Ri Sero.
Menjelang abad XVI, pada masa pemerintahan Raja Gowa VI, Tunatangka Lopi, membagi wilayahnya menjadi dua bagian terhadap dua orang putranya, yaitu Batara Gowa dan Karaeng Loe Ri Sero.
Batara Gowa melanjutkan kekuasaan ayahnya yang
meninggal dunia. Wilayahnya meliputi:
(1) Paccelekang,
(2) Patalassang,
(3) Bontomanai Ilau,
(4) Bontomanai Iraya,
(5) Tombolo, dan
(6) Mangasa.
Sedang adiknya, Karaeng Loe ri Sero, mendirikan
kerajaan baru yang bernama kerajaan Tallo dengan wilayah sebagai berikut:
(1) Saumata,
(2) Pannampu,
(3) Moncong Loe, dan
(4) Parang Loe.
Beberapa kurun waktu, kedua kerajaan itu terlibat
pertikaian dan baru berakhir pada masa pemerintahan Raja Gowa IX Karaeng
Tumapa’risi’ Kallonna. Setelah melalui perang, beliau berhasil menaklukkan
pemerintahan raja Tallo III, I Mangayaoang Berang Karaeng Tunipasuru. Sejak
itu, terbentuklah koalisi antara Kerajaan Gowa dan Tallo, dengan ditetapkannya
bahwa Raja Tallo menjadi Karaeng Tumabbicara butta atau Mangkubumi (Perdana
menteri) Kerajaan Gowa.
Penyatuan
kedua kerajaan itu dikuatkan oleh ucapan sumpah raja-raja dan para pembesar
kedua kerajaan itu. Sumpah itu di dalam bahasa Makassar berbunyi: “iami anjo nasitalli’mo karaenga ri Gowa
siagang karaenga ri Tallo, gallaranga Iangaseng ribaruga nikelua. Ia Iannamo
Tau Ampassi Ewai Gowa-Tallo Iamo Nicalla Rewata”. artinya: “Siapa-siapa
saja yang mengadudomba Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo, maka orang itu akan
dikutuk oleh dewata”.
Sejak itulah Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo,
terutama dalam hubungan keluar, merupakan satu kerajaan yang bersatu. Betapa
kokohnya perpaduan antara kedua kerajaan bersaudara itu, dapat dilihat dalam
ungkapan bahasa Makassar: “rua
karaeng se’re ata” artinya “Dua raja namun satu hamba”. Maksudnya, dua
raja memerintah atas rakyat yang tetap satu.
3.
Masa Perkembangan Kerajaan Gowa
1)
Masa Pemerintahan Raja Gowa IX
Pada permulaan abad ke-XVI kerajaan Gowa mengalami
kemajuan di bidang Ekonomi dan politik pada masa pemerintahan Raja Gowa IX
Daeng Matanre Karaeng Manguntungi bergelar “Tumapa’risi’ Kallonna”, dan
dipindahkanlah Ibukota dari istana kerajaan dari Tamalate ke Somba Opu.
Disana beliau membangun sebuah dermaga yang menjadikan Gowa sebagai Kerajaan Maritim yang terkenal di wilayah nusantara bahkan sampai ke luar negeri. Bandar niaga Somba Opu dijadikan bandar transito sehingga ramai dikunjungi pedagang dari luar negeri.
Disana beliau membangun sebuah dermaga yang menjadikan Gowa sebagai Kerajaan Maritim yang terkenal di wilayah nusantara bahkan sampai ke luar negeri. Bandar niaga Somba Opu dijadikan bandar transito sehingga ramai dikunjungi pedagang dari luar negeri.
Pada masa Karaeng Tumapa’risi’ Kallonna itu pula,
Gowa telah berhasil memperluas daerah kekuasaannya dengan menaklukkan berapa
daerah di sekitarnya, seperti Garassi, Katingan, Mandalle, Parigi, Siang
(Pangkajene), Sidenreng, Lempangan, Bulukumba, Selayar, Panaikang, Campaga,
Marusu, Polongbangkeng (Takalar), dan lain-lain. selanjutnya Sanrobone, Jipang,
Galesong, Agang Nionjok, Tanete (Barru), Kahu, dan Pakombong dijadikannya
sebagai Palilik atau kerajaan taklukan Gowa tetapi masih diberi kesempatan
memerintah. Mereka diwajibkan membayar sabbukati (bea perang) dan mengakui
supremasi Kerajaan Gowa.
Pada masa Karaeng Tumapa’risi’ Kallonna ini pula,
Gowa mulai dikenal sebagai bandar niaga yang ramai dikunjungi dan disinggahi
oleh kapal-kapal untuk melakukan bongkar muat rempah-rempah. Setelah jatuhnya
Malaka ke tangan Portugis tahun 1511, banyak pedagang dari negara asing yang
berdatangan ke Makassar, termasuk orang Melayu pada tahun 1512, juga orang
Portugis yang pertama datang ke Makassar (Gowa –Tallo) menjalin hubungan
persahabatan dan perdagangan pada tahun 1538. Orang Portugis inilah yang banyak
mendapati kapal-kapal Makassar berkeliaran di sekeliling perairan Nusantara, bahkan
sampai ke India, Siam (Muangthai) dan Filipina Selatan.
Untuk memperkuat pertahanan dan kedudukan istana di
Somba Opu, Karaeng Tumapa’risi’ Kallonna memerintahkan untuk membangun sebuah
benteng dari gundukan tanah yang mengelilingi istana pada tahun 1525. Benteng
tersebut sekarang lebih dikenal dengan nama Benteng Somba Opu. Putra Karaeng
Tumapa’risi’ Kallonna sebagai Raja Gowa X Karaeng Tunipallangga Ulaweng
selanjutnya merenovasi benteng tersebut dengan tembok bata serta membangun
benteng pertahanan lainnya, antara lain benteng Tallo, Ujung Tanah, Ujung
Pandang, Mariso, Panakukang, Garassi, Galesong, Barombong, Ana’ Gowa dan
Kalegowa.
2)
Masa Pemerintahan Raja Gowa X
Setelah karaeng Tumapa’risi’ Kallonna wafat, beliau
digantikan oleh puteranya I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga
Ulaweng (1546-1565) sebagai Raja Gowa X beserta mengkubuminya Nappakata`tana
Daeng Padulung (Raja Tallo), melanjutkan cita-cita ayahandanya. Beliau memperkuat
benteng-benteng pertahanan kerajaan dengan menjadikan Benteng somba Opu sebagai
benteng utama. Politik ekspansinya berjalan dengan baik. Kerajaan yang tidak
mau tunduk pada pengaruh Gowa dianggap sebagai saingan yang harus ditaklukkan.
Oleh karena itu Ia menyerang Bone yang waktu itu di bawah kekuasaan Raja bone
VII, La Tenrirawe Bongkange Matinro Ri Gucina.
3)
Masa Pemerintahan Raja Gowa XI
Setelah Tonipallangga Ulaweng meninggal dunia, Ia
digantikan oleh Tonibatta (1565) sebagai Raja Gowa XI. Nama lengkapnya adalah I
Tajibarani Daeng Marompa, Karaeng Data, Tonibatta. Baginda adalah yang paling
pendek masa jabatannya, yakni hanya 40 hari. Baru saja menduduki tampuk
kekuasaan, ia langsung mengadakan ekspansi ke kerajaan Bone. Tonibatta tewas
dalam keadaan tertetak sehingga digelar Tonibatta.
Jenazah Baginda dikembalikan ke Gowa diiringi
pembesar-pembesar terkemuka kerajaan Bone. Beberapa saat setelah upacara
berkabung selesai, dilakukanlah perundingan perdamaian antara kedua kerajaan.
Perjanjian itu biasa disebut Ulukanaya ri Caleppa (kesepakatan di caleppa).
Setelah perundingan selesai, Raja Bone beserta penasehatnya Kajaolalido
langsung ke Gowa mengikuti pelantikan Raja Gowa XII, Manggorai Daeng Mammeta
Karaeng Bontolangkasa Tonijallo (1565-1590).
4)
Masa Pemerintahan Raja Gowa XII
Setelah meninggalnya I Tajibarani Daeng Marompa,
Karaeng Data, Tonibatta. Ia digantikan oleh Manggorai Daeng Mammeta Karaeng
Bontolangkasa Tonijallo (1565-1590). Keadaan damai pasca perjanjian ulukanayya
ri Caleppa, dimanfaatkan oleh kerajaan bone untuk menyusun aliansi Tellumcoppoe
atau “tiga puncak kerajaan Bugis” untuk menghadapi agresi Gowa. Tonijallo
memandang aliansi ini sebagai ancaman langsung terhadap supremasi Gowa. Oleh
karena itu, pada tahun 1583 Raja Gowa melancarkan serangan terhadap Wajo. Tujuh
tahun kemudian 1590, serangan dilanjutkan kembali tetapi Gowa tetap tidak mampu
mengalahkan Tellumcoppoe. Tonijallo sendiri tewas diamuk oleh pengikutnya.
5)
Masa Pemerintahan Raja Gowa XIII
Sepeninggal Tonijallo, Ia digantikan oleh I Tepu
Karaeng Daeng Parambung Karaeng ri Bontolangkasa Tonipasulu sebagai Raja Gowa
XIII (1590-1593). Tidak banyak aktifitas yang dilakukannya sebab ia hanya
memerintah selama tiga tahun, kemudian dipecat dari jabatannya. Pemecatan
dilakukan karena banyak perbuatannya yang buruk, seperti pembunuhan dan
pemecatan pejabat kerajaan secara semena-mena.
6)
Masa Pemerintahan Raja Gowa XIV
Pengganti tonipasulu adalah saudaranya I Manggerangi
Daeng Manrabia Sultan Alauddin Tu Menanga ri Gaukanna, Raja Gowa ke-14, putra
Tunijallo. Beliau dinobatkan ketika berumur 7 tahun . Oleh karena itu,
pemerintahan kerajaan dijalankan oleh Mangkubumi/Raja Tallo-I yang bernama I
Mallingkaang Daeng Manyonri` Karaeng Katangka, Karaeng Matoaya, Tumenanga Ri
Agamana, Sultan Awwalul Islam.
7)
Masa Pemerintahan Raja Gowa XV
A.
Islamisasi Kerajaan Gowa
Penerimaan Islam pada beberapa tempat di Nusantara
memperlihatkan dua pola yang berbeda. Pertama, Islam diterima oleh masyarakat
bawah, kemudiaan berkembang dan diterima oleh masyarakat lapisan atas disebut
bottom up. Kedua, Islam diterima langsung oleh elite penguasa kerajaan kemudian
disosialisasikan dan berkembang pada lapisan masyarakat bawah disebut top down.
Penerimaan Islam di Gowa menurut penulis sejarah Islam, memperlihatkan pola
yang kedua.
Kerajaan yang mula-mula memeluk Islam dengan resmi
di Sulawesi Selatan adalah kerajaan kembar Gowa-Tallo. Tanggal peresmian Islam
itu menurut lontara Gowa dan Tallo adalah malam Jum’at, 22 September 1605, atau
9 Jumadil Awal 1014 H. Dinyatakan bahwa Mangkubumi kerajaan Gowa / Raja Tallo I
Mallingkaeng Daeng Manyonri mula-mula menerima dan mengucapkan kalimat Syahadat
(Ia di beri gelar Sultan Abdullah Awwalul Islam) dan sesudah itu barulah raja
Gowa ke-14 Mangenrangi Daeng Manrabia (Sultan Alauddin).
Dua tahun kemudian seluruh rakyat Gowa-Tallo memeluk
agama Islam berdasar atas prinsip cocius region eius religio, dengan
diadakannya shalat Jumat pertama di masjid Tallo tanggal 9 November 1607 / 19
Rajab 1016 H.
Adapun yang mengislamkan kedua raja tersebut ialah Datu ri Bandang (Abdul Makmur Khatib Tunggal) seorang ulama yang berasal dari Minangkabau (Sumatera) ke Sulawesi Selatan bersama dua orang temannya yakni Datu Patimang (Khatib Sulaeman) yang mengislamkan pula Raja Luwu La Pataware Daeng Parabung dan Datu ri Tiro (Khatib Bungsu) yang menyebar Agama Islam di Tiro dan sekitarnya.
Adapun yang mengislamkan kedua raja tersebut ialah Datu ri Bandang (Abdul Makmur Khatib Tunggal) seorang ulama yang berasal dari Minangkabau (Sumatera) ke Sulawesi Selatan bersama dua orang temannya yakni Datu Patimang (Khatib Sulaeman) yang mengislamkan pula Raja Luwu La Pataware Daeng Parabung dan Datu ri Tiro (Khatib Bungsu) yang menyebar Agama Islam di Tiro dan sekitarnya.
Sekitar enam tahun kemudian, kerajaan lainnya di
Sulawesi Selatan pun menerima Islam. Penyebarannya di dukung oleh Kerajaan Gowa
sebagai pusat kekuatan pengislaman. Kerajaan bugis seperti Bone, Soppeng, Wajo
dan Sidenreng, berhubung karena menolak, akhirnya Raja Gowa melakukan perang,
karena juga dianggap menentang kekuasaan Raja Gowa. Setelah takluk, penyebaran
Islam dapat dilakukan dengan mudah di Kerajaan Bugis.
B.
Zaman Keemasan
Setelah
Kerajaan Gowa menerima Islam, semakin menapak puncak kejayaannya. Pada masa
pemerintahan Raja Gowa XV I Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng
Lakiung Sultan Malikulsaid (1639-1653), kekuasaan dan pengaruhnya kian meluas
dan diakui sebagai pemegang hegemoni dan supremasi di Sulawesi Selatan, bahkan
kawasan Timur Indonesia.
Kemashuran
Sultan Malikulsaid sampai ke Eropa dan Asia, terutama karena pada masa
pemerintahannya, dia ditunjang oleh jasa-jasa Karaeng Pattingalloang Sultan
Malikulsaid kemudian mengangkatnya sebagai Mangkubumi, Karaeng Pattingaloang dengan
gelar Sultan Mahmud Tumenanga ri Bontobiraeng. Karaeng Pattingaloang terkenal
sebagai seorang cendekia yang menguasai dan mahir beberapa bahasa asing, serta
ahli dalam hal berdiplomasi.
Tidak heran, Gowa ketika itu telah mampu menjalin
hubungan internasional yang akrab dengan raja-raja dan pembesar dari negara
luar, seperti Raja Inggris, Raja Kastilia di Spanyol, Raja Portugis, Raja Muda
Portugis di Gowa (India), Gubernur Spayol dan Marchente di Mesoliputan (India),
Mufti Besar Arabia dan terlebih lagi dengan kerajaan-kerajaan di sekitar
Nusantara. bekerjasama dengan bangsa-bangsa asing, terutama Eropa sejak Somba
Opu menjadi Bandar Niaga Internasional. Bangsa Eropa yang gemar dengan
rempah-rempah telah menjalin hubungan dagang dengan Gowa, seperti Inggris,
Denmark, Portugis, Spanyol, Arab, dan Melayu. Mereka telah mendirikan kantor
perwakilan dagang di Somba Opu. Dari tahun ke tahun hubungan Kerajaan Gowa
dengan bangsa Eropa tidak mengalami ronrongan. Barulah terganggu setelah
kehadiran orang-orang Belanda yang ingin memonopoli perdagangan dan kemudian menjajah.
8)
Masa Pemerintahan Raja Gowa XVI
Tanggal 5 November 1653 Sultan Malikulsaid wafat setelah
mengendalikan pemerintahan Gowa selama 16 tahun. Beliau digantikan oleh
puteranya I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin yang menjadi raja Gowa
XVI (1653-1669). Dimasa Hasanuddin inilah ketegangan Gowa dengan Belanda kian
meruncing. Hal tersebut karena sikap beliau sangat tegas dan tak mau tunduk
pada Belanda. Untuk lebih rinci mengenai Pemerintahan Sultan Hasanuddin, Klik disini.
4. Masa
Kemunduran dan Keruntuhan
Peperangan demi peperangan melawan
Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang dialami Gowa, membuat banyak
kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh terhadap perekonomian
Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama setelah hancurnya benteng
Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan Gowa yang sudah berlangsung
berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran. Akibat perjanjian Bongaya,
pada tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam perjanjian itu, nyatalah
kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri yang
ditaklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Aru Palakka menaklukkan hampir
seluruh daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka banyak
orang Bugis yang pindah di Makassar. Sejak itu pula penjajahan Belanda mulai
tertanam secara penuh di Indonesia.
Makassar, sebagai ibukota kerajaan
Gowa mengalami pengalihan-pengalihan baik dari segi penguasaan maupun
perkembangan-perkembangannya. Pengaruh kekuasaan gowa makin lama makin tidak
terasa di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan pengikut Aru Palaka dan
Belanda . benteng Somba Opu yang selama ini menjadi pusat politik menjadi
kosong dan sepi. Namun demikian Sultan Hasanuddin telah menunjukkan
perjuangannya yang begitu gigih untuk membela tanah air dari cengkraman
penjajah.
Sebagai tanda jasa atas perjuangan Sultan
Hasanuddin, Pemerintah Republik Indonesia atas SK Presiden No. 087/TK/1973
tanggal 10 November 1973 menganugerahi beliau sebagai Pahlawan Nasional. Demikian
Gowa telah mengalami pasang surut dalam perkembangan sejak Raja Gowa pertama,
Tumanurung (abad 13) hingga mencapai puncak keemasannya pada abad XVIII
kemudian sampai mengalami transisi setelah bertahun-tahun berjuang menghadapi
penjajahan. Dalam pada itu, sistem pemerintahanpun mengalami transisi di masa
Raja Gowa XXXVI Andi Idjo Karaeng Lalolang, setelah menjadi bagian Republik
Indonesia yang merdeka dan bersatu, berubah bentuk dari kerajaan menjadi daerah
tingkat II Otonom. Sehingga dengan perubahan tersebut, Andi Idjo pun tercatat
dalam sejarah sebagai Raja Gowa terakhir dan sekaligus Bupati Gowa pertama.
Refensi:
Dari
berbagai sumber yang kemudian disatukan oleh penulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kalau ada yang kurang, dan berniat bertanya. fragen Sie bitte.
silahkan tulis di kolom komentar ada di bawah.
danke für ihren besuch..