Laman

Selasa, 18 November 2014

KERAJAAN GOWA DALAM SEJARAHNYA

Kerajaan Gowa Dalam Sejarahnya
  A.    Asal-Usul Dan Perkembangan Kerajaan Gowa
1.      Masa Sebelum Tumanurung
Sebelum zaman Tumanurung, ada empat raja yang pernah mengendalikan Pemerintahan Gowa yakni : Batara Guru, saudara Batara Guru yang dibunuh oleh Tatali (tak diketahui nama aslinya), Ratu Sapu atau Marancai dan Karaeng Katangka (Nama aslinya tak diketahui). Keempat raja tersebut tak diketahui asal-usulnya serta masa pemerintahannya. Tapi mungkin pada masa itu, Gowa purba terdiri dari 9 kasuwiang ( kasuwiyang salapang) mungkin pula lebih yang dikepalai seorang penguasa sebagai raja kecil. Setelah pemerintahan Karaeng katangka, maka sembilan kerajaan kecil bergabung dalam bentuk pemerintahan federasi yang diketuai oleh Paccallaya.
2.      Masa Tumanurung
Berdasarkan hasil penelitian sejarah, baik melalui lontarak maupun cerita yang berkembang di masyarakat, dapat diketahui bahwa munculnya nama Gowa dimulai pada tahun 1320, yakni pada masa pemerintahan Raja Gowa pertama bernama Tumanurunga.
Diriwayatkan pada masa sebelum hadir Tumanurunga di butta Gowa, ketika itu Gowa berbentuk kerajaan-kerajaan kecil yang mengikatkan diri dalam bentuk persekutuan (Bondgenoot) atau pemerintahan gabungan (Federasi).
Kesembilan Kasuwiang disebut juga Kasuwiang Salapanga atau “Sembilan kelompok kaum” yang mewakili masing-masing dalam persekutuan. Berikut ini Kasuwiang Salapanga: 
1)      Kasuwiang Tombolo
2)      Kasuwiang Lakiung 
3)      Kasuwiang Samata 
4)      Kasuwiang Parang-parang 
5)      Kasuwiang Data 
6)      Kasuwiang Agang Je’ne
7)      Kasuwiang Bisei 
8)      Kasuwiang Kailing
9)      Kasuwiang Sero 
Kesembilan penguasa atau raja-raja kecil yang telah membentuk sebuah gabungan  diketuai oleh seorang pejabat yang disebut paccallaya. Dialah yang bertindak sebagai ketua pemerintahan gabungan atau federasi Gowa. Paccallaya ini merupakan “ketua dewan” dari penguasa-penguasa yang bergabung itu. Paccallaya juga bertindak sebagai hakim tertinggi, apabila terjadi sengketa atau pertentangan di antara penguasa-penguasa yang bergabung dalam federasi Gowa tersebut. Penguasa-penguasa itu berdiri sendiri dan bebas mengatur pemerintahan di dalam daerahnya masing-masing (otonom).
Entah berapa lamanya pemerintahan gabungan itu berjalan. Pada suatu waktu paccallaya dan penguasa-penguasa atau raja-raja kecil itu berniat memiliki seorang pemimipin sebagai panutan. Namun mereka juga tidak mau memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi raja Gowa.
Walaupun mereka bersatu, namun kondisi tanah Gowa pada masa sebelum hadirnya Tumanurunga senantiasa dilanda perang saudara antara Gowa bagian utara dan Gowa bagian selatan seberang Jeneberang. Paccallaya sebagai ketua federasi tak sanggup mengatasi peperangan tersebut. Hal tersebut karena Paccallaya hanya berfungsi sebagai lambang yang tidak memiliki pengaruh kuat terhadap anggota persekutuan yang masing-masing punya hak otonom dan untuk mengatasi perang saudara tersebut, dibutuhkanlah seorang pemimpin yang berwibawa dan kharismatik yang dapat diterima oleh kesembilan kelompok tersebut untuk mengatasinya.
Diriwayatkan, terdengarlah berita oleh Paccallaya bahwa ada seorang putri yang turun dari atas bukit Tamalate tepatnya di Taka’bassia. Orang-orang yang berada di Bontobiraeng melihat seberkas cahaya dari atas sebelah utara, bergerak perlahan-lahan turun menuju Taka’bassia tepatnya persis di atas sebuah bongkahan batu perbukitan.
Kejadian itu cepat diketahui, Paccallaya bersama Kesembilan Kasuwiang bergegas ke Taka’bassia. Disana mereka duduk mengelilingi cahaya tersebut sambil bertafakkur. Serta merta dari cahaya menjelma wujud manusia, seorang wanita cantik menakjubkan dengan memakai pakaian kebesaran yang mengagumkan. Baik Paccalaya maupun Kasuwiang tak mengetahui nama putri tersebut, sehingga mereka sepakat memberi nama Tumanurung Bainea atau Tumanurung, artinya orang (wanita) yang tidak diketahui asal usulnya.
Karena putri ratu tersebut memiliki keajaiban, Paccallaya dan kasuwiang salapangan kemudian bersepakat menjadikan Tumanurunga sebagai raja, dan memberitahukan kepada orang-orang yang berperang agar menghentikan pertempuran. Paccallaya kemudian mendekati Tumanurunga dan seraya menyembah “Sombangku!” (Tuanku) kami semua datang di hadapan Tuanku, sudilah kiranya Tuanku menetap di negeri kami dan Tuankulah yang merajai kami”. Permohonan Paccallaya pun dikabulkan oleh Tumanurunga dan berseru kepada orang banyak yang hadir di tempat itu, “Sombai karaengnu tu Gowa!” (sembahlah rajamu hai orang Gowa). Baik Kasuwiang maupun warga yang ada di sekitar itu berseru “Sombangku”.
Setelah Tumanurunga resmi menjadi Raja Gowa pertama pada tahun 1320 negeri Gowa kembali menjadi aman. Masa pemerintahan Tumanurunga berlangsung sejak tahun 1320-1345. Diriwayatkan, Tumanurunga kemudian kawin dengan Karaeng Bayo, yaitu seorang pendatang yang tidak diketahui asal usulnya. Hanya dikatakan berasal dari arah selatan bersama temannya Lakipadada. Dari hasil perkawinan tersebut lahirlah Tumassalangga Baraya yang nantinya menggantikan ibunya menjadi raja Gowa kedua (1345-1370).
Menjelang abad XVI, pada masa pemerintahan Raja Gowa VI, Tunatangka Lopi, membagi wilayahnya menjadi dua bagian terhadap dua orang putranya, yaitu Batara Gowa dan Karaeng Loe Ri Sero.
Batara Gowa melanjutkan kekuasaan ayahnya yang meninggal dunia. Wilayahnya meliputi:
(1) Paccelekang,
(2) Patalassang,
(3) Bontomanai Ilau,
(4) Bontomanai Iraya,
(5) Tombolo, dan
(6) Mangasa.
Sedang adiknya, Karaeng Loe ri Sero, mendirikan kerajaan baru yang bernama kerajaan Tallo dengan wilayah sebagai berikut:
(1) Saumata,
(2) Pannampu,
(3) Moncong Loe, dan
(4) Parang Loe.
Beberapa kurun waktu, kedua kerajaan itu terlibat pertikaian dan baru berakhir pada masa pemerintahan Raja Gowa IX Karaeng Tumapa’risi’ Kallonna. Setelah melalui perang, beliau berhasil menaklukkan pemerintahan raja Tallo III, I Mangayaoang Berang Karaeng Tunipasuru. Sejak itu, terbentuklah koalisi antara Kerajaan Gowa dan Tallo, dengan ditetapkannya bahwa Raja Tallo menjadi Karaeng Tumabbicara butta atau Mangkubumi (Perdana menteri) Kerajaan Gowa.
Penyatuan kedua kerajaan itu dikuatkan oleh ucapan sumpah raja-raja dan para pembesar kedua kerajaan itu. Sumpah itu di dalam bahasa Makassar berbunyi: “iami anjo nasitalli’mo karaenga ri Gowa siagang karaenga ri Tallo, gallaranga Iangaseng ribaruga nikelua. Ia Iannamo Tau Ampassi Ewai Gowa-Tallo Iamo Nicalla Rewata”. artinya: “Siapa-siapa saja yang mengadudomba Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo, maka orang itu akan dikutuk oleh dewata”.
Sejak itulah Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo, terutama dalam hubungan keluar, merupakan satu kerajaan yang bersatu. Betapa kokohnya perpaduan antara kedua kerajaan bersaudara itu, dapat dilihat dalam ungkapan bahasa Makassar: “rua karaeng se’re ata” artinya “Dua raja namun satu hamba”. Maksudnya, dua raja memerintah atas rakyat yang tetap satu.

3.      Masa Perkembangan Kerajaan Gowa
         1)      Masa Pemerintahan Raja Gowa IX
Pada permulaan abad ke-XVI kerajaan Gowa mengalami kemajuan di bidang Ekonomi dan politik pada masa pemerintahan Raja Gowa IX Daeng Matanre Karaeng Manguntungi bergelar “Tumapa’risi’ Kallonna”, dan dipindahkanlah Ibukota dari istana kerajaan dari Tamalate ke Somba Opu.
Disana beliau membangun sebuah dermaga yang menjadikan Gowa sebagai Kerajaan Maritim yang terkenal di wilayah nusantara bahkan sampai ke luar negeri. Bandar niaga Somba Opu dijadikan bandar transito sehingga ramai dikunjungi pedagang dari luar negeri.
Pada masa Karaeng Tumapa’risi’ Kallonna itu pula, Gowa telah berhasil memperluas daerah kekuasaannya dengan menaklukkan berapa daerah di sekitarnya, seperti Garassi, Katingan, Mandalle, Parigi, Siang (Pangkajene), Sidenreng, Lempangan, Bulukumba, Selayar, Panaikang, Campaga, Marusu, Polongbangkeng (Takalar), dan lain-lain. selanjutnya Sanrobone, Jipang, Galesong, Agang Nionjok, Tanete (Barru), Kahu, dan Pakombong dijadikannya sebagai Palilik atau kerajaan taklukan Gowa tetapi masih diberi kesempatan memerintah. Mereka diwajibkan membayar sabbukati (bea perang) dan mengakui supremasi Kerajaan Gowa.
Pada masa Karaeng Tumapa’risi’ Kallonna ini pula, Gowa mulai dikenal sebagai bandar niaga yang ramai dikunjungi dan disinggahi oleh kapal-kapal untuk melakukan bongkar muat rempah-rempah. Setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511, banyak pedagang dari negara asing yang berdatangan ke Makassar, termasuk orang Melayu pada tahun 1512, juga orang Portugis yang pertama datang ke Makassar (Gowa –Tallo) menjalin hubungan persahabatan dan perdagangan pada tahun 1538. Orang Portugis inilah yang banyak mendapati kapal-kapal Makassar berkeliaran di sekeliling perairan Nusantara, bahkan sampai ke India, Siam (Muangthai) dan Filipina Selatan.
Untuk memperkuat pertahanan dan kedudukan istana di Somba Opu, Karaeng Tumapa’risi’ Kallonna memerintahkan untuk membangun sebuah benteng dari gundukan tanah yang mengelilingi istana pada tahun 1525. Benteng tersebut sekarang lebih dikenal dengan nama Benteng Somba Opu. Putra Karaeng Tumapa’risi’ Kallonna sebagai Raja Gowa X Karaeng Tunipallangga Ulaweng selanjutnya merenovasi benteng tersebut dengan tembok bata serta membangun benteng pertahanan lainnya, antara lain benteng Tallo, Ujung Tanah, Ujung Pandang, Mariso, Panakukang, Garassi, Galesong, Barombong, Ana’ Gowa dan Kalegowa.
2)      Masa Pemerintahan Raja Gowa X
Setelah karaeng Tumapa’risi’ Kallonna wafat, beliau digantikan oleh puteranya I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565) sebagai Raja Gowa X beserta mengkubuminya Nappakata`tana Daeng Padulung (Raja Tallo), melanjutkan cita-cita ayahandanya. Beliau memperkuat benteng-benteng pertahanan kerajaan dengan menjadikan Benteng somba Opu sebagai benteng utama. Politik ekspansinya berjalan dengan baik. Kerajaan yang tidak mau tunduk pada pengaruh Gowa dianggap sebagai saingan yang harus ditaklukkan. Oleh karena itu Ia menyerang Bone yang waktu itu di bawah kekuasaan Raja bone VII, La Tenrirawe Bongkange Matinro Ri Gucina.
3)      Masa Pemerintahan Raja Gowa XI
Setelah Tonipallangga Ulaweng meninggal dunia, Ia digantikan oleh Tonibatta (1565) sebagai Raja Gowa XI. Nama lengkapnya adalah I Tajibarani Daeng Marompa, Karaeng Data, Tonibatta. Baginda adalah yang paling pendek masa jabatannya, yakni hanya 40 hari. Baru saja menduduki tampuk kekuasaan, ia langsung mengadakan ekspansi ke kerajaan Bone. Tonibatta tewas dalam keadaan tertetak sehingga digelar Tonibatta.
Jenazah Baginda dikembalikan ke Gowa diiringi pembesar-pembesar terkemuka kerajaan Bone. Beberapa saat setelah upacara berkabung selesai, dilakukanlah perundingan perdamaian antara kedua kerajaan. Perjanjian itu biasa disebut Ulukanaya ri Caleppa (kesepakatan di caleppa). Setelah perundingan selesai, Raja Bone beserta penasehatnya Kajaolalido langsung ke Gowa mengikuti pelantikan Raja Gowa XII, Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tonijallo (1565-1590).
4)      Masa Pemerintahan Raja Gowa XII
Setelah meninggalnya I Tajibarani Daeng Marompa, Karaeng Data, Tonibatta. Ia digantikan oleh Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tonijallo (1565-1590). Keadaan damai pasca perjanjian ulukanayya ri Caleppa, dimanfaatkan oleh kerajaan bone untuk menyusun aliansi Tellumcoppoe atau “tiga puncak kerajaan Bugis” untuk menghadapi agresi Gowa. Tonijallo memandang aliansi ini sebagai ancaman langsung terhadap supremasi Gowa. Oleh karena itu, pada tahun 1583 Raja Gowa melancarkan serangan terhadap Wajo. Tujuh tahun kemudian 1590, serangan dilanjutkan kembali tetapi Gowa tetap tidak mampu mengalahkan Tellumcoppoe. Tonijallo sendiri tewas diamuk oleh pengikutnya.
5)      Masa Pemerintahan Raja Gowa XIII
Sepeninggal Tonijallo, Ia digantikan oleh I Tepu Karaeng Daeng Parambung Karaeng ri Bontolangkasa Tonipasulu sebagai Raja Gowa XIII (1590-1593). Tidak banyak aktifitas yang dilakukannya sebab ia hanya memerintah selama tiga tahun, kemudian dipecat dari jabatannya. Pemecatan dilakukan karena banyak perbuatannya yang buruk, seperti pembunuhan dan pemecatan pejabat kerajaan secara semena-mena.
6)      Masa Pemerintahan Raja Gowa XIV
Pengganti tonipasulu adalah saudaranya I Manggerangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin Tu Menanga ri Gaukanna, Raja Gowa ke-14, putra Tunijallo. Beliau dinobatkan ketika berumur 7 tahun . Oleh karena itu, pemerintahan kerajaan dijalankan oleh Mangkubumi/Raja Tallo-I yang bernama I Mallingkaang Daeng Manyonri` Karaeng Katangka, Karaeng Matoaya, Tumenanga Ri Agamana, Sultan Awwalul Islam.
7)      Masa Pemerintahan Raja Gowa XV
A.    Islamisasi Kerajaan Gowa
Penerimaan Islam pada beberapa tempat di Nusantara memperlihatkan dua pola yang berbeda. Pertama, Islam diterima oleh masyarakat bawah, kemudiaan berkembang dan diterima oleh masyarakat lapisan atas disebut bottom up. Kedua, Islam diterima langsung oleh elite penguasa kerajaan kemudian disosialisasikan dan berkembang pada lapisan masyarakat bawah disebut top down. Penerimaan Islam di Gowa menurut penulis sejarah Islam, memperlihatkan pola yang kedua.
Kerajaan yang mula-mula memeluk Islam dengan resmi di Sulawesi Selatan adalah kerajaan kembar Gowa-Tallo. Tanggal peresmian Islam itu menurut lontara Gowa dan Tallo adalah malam Jum’at, 22 September 1605, atau 9 Jumadil Awal 1014 H. Dinyatakan bahwa Mangkubumi kerajaan Gowa / Raja Tallo I Mallingkaeng Daeng Manyonri mula-mula menerima dan mengucapkan kalimat Syahadat (Ia di beri gelar Sultan Abdullah Awwalul Islam) dan sesudah itu barulah raja Gowa ke-14 Mangenrangi Daeng Manrabia (Sultan Alauddin).
Dua tahun kemudian seluruh rakyat Gowa-Tallo memeluk agama Islam berdasar atas prinsip cocius region eius religio, dengan diadakannya shalat Jumat pertama di masjid Tallo tanggal 9 November 1607 / 19 Rajab 1016 H.
Adapun yang mengislamkan kedua raja tersebut ialah Datu ri Bandang (Abdul Makmur Khatib Tunggal) seorang ulama yang berasal dari Minangkabau (Sumatera) ke Sulawesi Selatan bersama dua orang temannya yakni Datu Patimang (Khatib Sulaeman) yang mengislamkan pula Raja Luwu La Pataware Daeng Parabung dan Datu ri Tiro (Khatib Bungsu) yang menyebar Agama Islam di Tiro dan sekitarnya.
Sekitar enam tahun kemudian, kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan pun menerima Islam. Penyebarannya di dukung oleh Kerajaan Gowa sebagai pusat kekuatan pengislaman. Kerajaan bugis seperti Bone, Soppeng, Wajo dan Sidenreng, berhubung karena menolak, akhirnya Raja Gowa melakukan perang, karena juga dianggap menentang kekuasaan Raja Gowa. Setelah takluk, penyebaran Islam dapat dilakukan dengan mudah di Kerajaan Bugis.
   
       B.     Zaman Keemasan
Setelah Kerajaan Gowa menerima Islam, semakin menapak puncak kejayaannya. Pada masa pemerintahan Raja Gowa XV I Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikulsaid (1639-1653), kekuasaan dan pengaruhnya kian meluas dan diakui sebagai pemegang hegemoni dan supremasi di Sulawesi Selatan, bahkan kawasan Timur Indonesia.
Kemashuran Sultan Malikulsaid sampai ke Eropa dan Asia, terutama karena pada masa pemerintahannya, dia ditunjang oleh jasa-jasa Karaeng Pattingalloang Sultan Malikulsaid kemudian mengangkatnya sebagai Mangkubumi, Karaeng Pattingaloang dengan gelar Sultan Mahmud Tumenanga ri Bontobiraeng. Karaeng Pattingaloang terkenal sebagai seorang cendekia yang menguasai dan mahir beberapa bahasa asing, serta ahli dalam hal berdiplomasi.
Tidak heran, Gowa ketika itu telah mampu menjalin hubungan internasional yang akrab dengan raja-raja dan pembesar dari negara luar, seperti Raja Inggris, Raja Kastilia di Spanyol, Raja Portugis, Raja Muda Portugis di Gowa (India), Gubernur Spayol dan Marchente di Mesoliputan (India), Mufti Besar Arabia dan terlebih lagi dengan kerajaan-kerajaan di sekitar Nusantara. bekerjasama dengan bangsa-bangsa asing, terutama Eropa sejak Somba Opu menjadi Bandar Niaga Internasional. Bangsa Eropa yang gemar dengan rempah-rempah telah menjalin hubungan dagang dengan Gowa, seperti Inggris, Denmark, Portugis, Spanyol, Arab, dan Melayu. Mereka telah mendirikan kantor perwakilan dagang di Somba Opu. Dari tahun ke tahun hubungan Kerajaan Gowa dengan bangsa Eropa tidak mengalami ronrongan. Barulah terganggu setelah kehadiran orang-orang Belanda yang ingin memonopoli perdagangan dan kemudian menjajah.
8)      Masa Pemerintahan Raja Gowa XVI
Tanggal 5 November 1653 Sultan Malikulsaid wafat setelah mengendalikan pemerintahan Gowa selama 16 tahun. Beliau digantikan oleh puteranya I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin yang menjadi raja Gowa XVI (1653-1669). Dimasa Hasanuddin inilah ketegangan Gowa dengan Belanda kian meruncing. Hal tersebut karena sikap beliau sangat tegas dan tak mau tunduk pada Belanda. Untuk lebih rinci mengenai Pemerintahan Sultan Hasanuddin, Klik disini.

4.      Masa Kemunduran dan Keruntuhan
Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang dialami Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh terhadap perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama setelah hancurnya benteng Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan Gowa yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran. Akibat perjanjian Bongaya, pada tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam perjanjian itu, nyatalah kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri yang ditaklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Aru Palakka menaklukkan hampir seluruh daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka banyak orang Bugis yang pindah di Makassar. Sejak itu pula penjajahan Belanda mulai tertanam secara penuh di Indonesia.
Makassar, sebagai ibukota kerajaan Gowa mengalami pengalihan-pengalihan baik dari segi penguasaan maupun perkembangan-perkembangannya. Pengaruh kekuasaan gowa makin lama makin tidak terasa di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan pengikut Aru Palaka dan Belanda . benteng Somba Opu yang selama ini menjadi pusat politik menjadi kosong dan sepi. Namun demikian Sultan Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya yang begitu gigih untuk membela tanah air dari cengkraman penjajah.
Sebagai tanda jasa atas perjuangan Sultan Hasanuddin, Pemerintah Republik Indonesia atas SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 10 November 1973 menganugerahi beliau sebagai Pahlawan Nasional. Demikian Gowa telah mengalami pasang surut dalam perkembangan sejak Raja Gowa pertama, Tumanurung (abad 13) hingga mencapai puncak keemasannya pada abad XVIII kemudian sampai mengalami transisi setelah bertahun-tahun berjuang menghadapi penjajahan. Dalam pada itu, sistem pemerintahanpun mengalami transisi di masa Raja Gowa XXXVI Andi Idjo Karaeng Lalolang, setelah menjadi bagian Republik Indonesia yang merdeka dan bersatu, berubah bentuk dari kerajaan menjadi daerah tingkat II Otonom. Sehingga dengan perubahan tersebut, Andi Idjo pun tercatat dalam sejarah sebagai Raja Gowa terakhir dan sekaligus Bupati Gowa pertama.

Refensi:

Dari berbagai sumber yang kemudian disatukan oleh penulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kalau ada yang kurang, dan berniat bertanya. fragen Sie bitte.

silahkan tulis di kolom komentar ada di bawah.
danke für ihren besuch..