---Welcome---Selamat Datang---Herzlich willkommen---

Sponsored Ads

Sponsored Ads

Fanpage Facebook

Selasa, 18 November 2014

MASA PEMERINTAHAN RAJA GOWA XVI

Masa Pemerintahan Raja Gowa XVI
1.      Masa Kejayaan Raja Gowa
I Mallombassi Daeng Mattawang Sultan Muhammad Baqir Karaeng Bonto Mangngape, atau lebih tersohor dengan gelar Sultan Hasanuddin, adalah Raja ke-XVI yang terkenal keberaniannya menetang penjajah Belanda dalam wilayah kekuasaan kerajaan Gowa. Ia terkenal dengan julukan “Ayam Jantan Dari Timur”. Het Hantjes Van Oosten).
Sultan Hasanuddin naik tahta pada bulan April tahun (1653-1669), menggantikan ayahnya Sultan Malikussaid dalam usianya ke-22 tahun. Ibunya adalah seorang Bangsawan dari Laikang bernama I Sabbe Lokmo Takontu. Lahir 12 Januari 1631.
Sejak Sultan Hasanuddin naik tahta pada bulan November 1653, Sultan dihadapkan pada pergolakan. Pertempuran prajurit Kerajaan Gowa melawan Belanda di Buton terus berkobar, pertempuran ini dipimpin langsung oleh Sultan Hasanuddin. Dalam serangan itu, benteng pertahanan Belanda di Buton berhasil direbut serta menawan sebanyak 35 orang Belanda.
Satu tahun lamanya Sultan Hasanuddin mengendalikan pemerintahan, Mangkubumi Kerajaan Gowa Karaeng Pattingalloang wafat pada 15 September 1654. Beliau kemudian digantikan oleh putranya bernama Karaeng Karunrung.
Setelah Belanda melihat perang dengan Kerajaan Gowa telah banyak menelan biaya, demikian halnya di sektor perdagangan telah banyak mengalami kerugian. Belanda kemudian membuat siasat, lalu berniat ingin melakukan perjanjian damai.
Tanggal 17 Agustus 1655 tercapai perjanjian perdamaian 26 pasal sebagai hasil perundingan antara utusan Gowa yang diwakili Karaeng Popo dengan Gubernur Jenderal Belanda yang diwakili Dewan Hindia, Van Oudshoon. Pertemuan tersebut dipimpin oleh Panglima perang Belanda Mayor Van Dam di Batavia.
Perjanjian itu kemudian oleh Sultan dianggap sangat merugikan Gowa, terutama atas pasal larangan orang-orang Makassar berdagang di Banda dan Ambon, maka Gowa akhirnya menolak perjanjian itu.
Pada tanggal 23 Oktober 1655 Belanda mengutus Willem Van Den Berg dan seorang berkebangsaan Armenia bernama Choja Sulaeman untuk menghadap Sultan dan menyampaikan pesan Jenderal Maestsuyker, namun masih tetap gagal.
 Tanggal 20 November 1655 utusan Gubernur Jenderal Joan Maetsyuiker untuk sekian kalinya mencoba lagi menawarkan perdamaian dengan mengutus van Wesenhager, tetapi Sultan lagi-lagi menolaknya karena tuntutannya merugikan Kerajaan Gowa. Perundingan itu berlangsung 28 Desember 1655 dimana tuntutan Belanda sebagai berikut:
1)      Orang-orang Makassar yang ada di Maluku boleh kembali ke Negerinya.
2)      Raja Gowa boleh menagih utang piutangnya di Ambon
3)      Orang-orang tawanan dari kedua belah pihak harus diserahkan pada pihak masing-masing.
4)      Musuh-musuh dari Belanda tidak akan menjadi musuh dari Kerajaan Gowa.
5)      Belanda tidak akan mencampuri perselisihan diantara orang-orang Makassar.
6)      Belanda boleh menangkap semua orang Makassar yang didapati berlayar di Perairan Maluku.
Tuntutan Belanda itu dinilai oleh Sultan sangat merugikan Gowa, karenanya ditolak oleh Sultan dan berbalik melawan untuk berperang. Ia didukung oleh Mangkubuminya Karaeng Karunrung serta Karaeng Galesong dan Karaeng Bonto Marannu untuk unjuk kekuatan.
Menuju pada perundingan perdamaian berikutnya, Sultan mengutus Karaeng Popo mewakili Kerajaan Gowa ke Batavia. Akhirnya pada tanggal 1 Desember 1660 perjanjian perdamaian itu ditandatangani oleh Sultan, namun begitupun perjanjian tersebut tidak berlangsung lama, karena sangat merugikan Kerjaan Gowa, yakni : Larangan bagi orang-orang Makassar untuk berlayar di Perairan Banda dan Ambon, dan pengusiran orang-orang Portugis di Makassar.
Sultan beserta Mangkubuminya Karaeng Karunrung menolak keras perjanjian perdamaian itu. Malah Sultan memaklumkan perang terhadap Belanda, seraya berkata : “Gowa lebih suka berperang terus melawan belanda dari pada memenuhi segala isi perjanjian yang disodorkan oleh Belanda itu”. Sultan kemudian memerintahkan rakyatnya untuk membangun benteng-benteng pertahanan. Benteng yang dibangun mulai dari Mariso, dari sana Benteng pertahanan sepanjang 2,5 mil dari Binanga Beru hingga ke Ujung Tanah.
Demikian berbagai siasat perdamaian yang diajukan Belanda selalu gagal sehingga permusuhan tidak terelakkan, dan pertempuran pun terus bergolak antara Gowa dengan Belanda, mulai dari perairan Maluku, Banda sampai Makassar.
 Pada bulan Juni 1666 terjadi pertempuran hebat di perairan Somba Opu. Belanda mengirim sebanyak 22 kapal perang dengan kekuatan 1604 serdadu ditambah dengan 700 serdadu pembantu dari Jawa dan Madura, Ambon dan lainnya.
Karena Belanda putus asa menghadapi kegigihan rakyat Gowa dibawa pimpinan Sultan Hasanuddin, maka pada bulan Oktober 1666 Belanda menggerakkan armada persenjataannya yang paling kuat dibawa pimpinan Cornelis Speelman ke perairan Indonesia bagian timur, guna meruntuhkan kerajaan Gowa dan pengaruh hegemoninya. Dengan dibantu pasukan Bone sekitar 400 pasukan pimpinan Arung Palakka dan Kapten Jonker Van Manipa dari Ambon dalam perang melawan Gowa. Posisi Gowa saat itu, tidak hanya berperang melawan bangsa asing tetapi juga bangsanya sendiri.
Armada Belanda tiba di Sombaopu pada 15 Desember 1666, dan keadaan di Gowa semakin tegang, para pedagang pun menghentikan kegiatannya. Demikian halnya di pihak Kerajaan Gowa, semua benteng dilengkapi persenjataan dan amunisi serta persiapan makanan selama berbulan-bulan.
Sementara itu, Karaeng Bontomarannu dengan armada perangnya sebanyak 700 kapal masih melakukan perlawanan di Buton. Sementara itu utusan Spelman menghadap Sultan Hasanuddin untuk menyampaikan tuntutan agar Sultan menyerah saja dan bersedia membayar kerugian Belanda akibat perang terdahulu. Ternyata tuntutan Spelman itu hanya taktik belaka untuk memulai peperangan.
Tapi Sultan Hasanuddin dengan berani menjawab Bila kami diserang, maka kami mempertahankan diri dan kami menyerang kembali dengan segenap kemampuan yang ada. Kami berada di pihak yang benar. Kami ingin mempertahankan kebenaran dan kemerdekaan kami.
Pagi itu, sekitar Tgl 21 Desember 1666, Spelman mengibarkan Bendera merah pertanda perang siap dimulai, dentum meriampun mulai menghantam benteng satu persatu dan kemudian dibalas oleh prajurit Kerajaan Gowa.
Semangat juang dari prajurit Gowa semakin berkobar, armada perahu kecil yang disebut armada semut sekali-sekali melakukan serangan terhadap kapal Belanda. Perlawanan yang gigih dan prajurit Gowa telah mampu memukul basis pertahanan Belanda.
Dentuman meriam Belanda secara membabi buta, membuat kapal niaga yang sandar di Pelabuhan Somba Opu tenggelam satu persatu. Bahkan membumi hanguskan sekitar 30 Desa serta merusak lumbung pangan.
Tgl 1 Januari 1667 Spelman mengerahkan sebagian armadanya untuk menyerang Karaeng Bontomarannu di Buerah pada 4 Januari 1667. Kemenangan itu dirayakan oleh Spelman bersama Sultan Buton. Belanda lalu memberikan hadiah 100 ringgit pada prajurit Buton.
Setelah itu, armada tempur Spelman melanjutkan perjalanan ke Ternate. Arung Palakka mengirim pasukannya sebanyak 2000 orang ke Bone untuk membentuk pasukan baru. Pasukan Bone ini di siapkan untuk menyerbu Kerajaan Gowa di daratan.
Bulan Juni 1667 Spelman bersama Sultan Mandarsyah yang membawa pasukan ke Ternate Bacan dan Tidore bergabung dengan pasukan Arung Palakka dan Kapten Jonker van Manipa.
Dengan kekuatan dari Belanda itu, akhirnya perang pecah pada tgl 7 Juli 1667 setelah sekitar 7000 pasukan Kerajaan Gowa melakukan serangan mendadak terhadap pasukan Belanda dan sekutunya. Empat hari kemudian, Belanda baru berhasil memasuki perairan Kerajaan Gowa, Tgl 19 Juli perairan Makassar sudah dipenuhi kapal-kapal Belanda dan Benteng Somba Opu dikepung.
Sultan Hasanuddin dan Raja Tallo Sultan Harun Al Rasyid yang langsung memimpin perlawanan itu. Beliau berada di barisan terdepan memimpin para pasukannya, disusul beberapa pasukan Tubarani, seperti Karaeng Galesong, I Fatimah Daeng Takontu serta pembesar kerajaan lainnya.
Para Panglima perang di sebar di beberapa benteng pertahanan. Karaeng Bontosunggu dipercayakan untuk menjaga pertahanan di Benteng Ujung Pandang sedang Karaeng Popo memimpin pertahanan di Benteng Panakkukang.
Pada Tgl 19 Agustus 1667 pagi, benteng Galesong diserang dengan meriam Belanda. Setelah lumpuhnya benteng Galesong, Belanda lalu membakar gudang beras di Galesong dan Barombong. Perlawanan yang digencarkan para Tubarani dengan membalas dentuman meriam ana’ Mangkasara membuat Belanda kocar kacir, demikian halnya pasukan Arung Palakka berhasil dipukul mundur.
Atas serangan balasan itu, Spelman memperkuat pasukan 5 armada perang didatangkan dari Batavia yang dipimpin Komandan Kapten P. Dupon. Dari kekuatan itu Belanda lalu menyerang Benteng Barombong.
Tgl 5 November 1667 Spelman melapor ke Batavia bahwa pasukannya sudah payah, semangat tempur merosot, 182 orang serdadu dan 95 matros jatuh sakit, pasukan Buton, Ternate dan Bugis banyak diserang sakit perut, belum lagi yang mati di medan perang. Spelman minta lagi dikirimkan pasukan baru.
Maka datanglah bantuan baru dari Batavia. Atas bantuan pasukan baru itu, anak benteng pertahanan satu demi satu direbut Belanda. Sultan Hasanuddin pun merasa sedih, karena yang dihadapi tak hanya musuh, tetapi juga dari sesama bangsa sendiri, yakni dari Bugis, Ternate dan Buton.
Melihat Gowa dalam posisi yang kurang menguntungkan, Speelman mengajukan tawaran perundingan. Tawaran tersebut diterima Sultan dengan pertimbangan, bukan karena takut berperang tetapi demi menghindari bertambahnya pertumpahan darah yang lebih banyak di kalangan orang-orang Makassar maupun sesama bangsa sendiri. Atas pertimbangan yang arif dan bijaksana dari Sultan itu, kedua belah pihak melakukan perundingan di Bungaya dekat Barombong. Setelah beberapa hari dilakukan perundingan, akhirnya pada hari Jum’at 18 November 1667 tercapailah suatu kesepakatan yang ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Bungaya atau lasim disebut Cappaya ri Bungaya, yang isinya antara lain sebagai berikut:
1)      Kerajaan Gowa harus mangakui hak monopoli VOC.
2)      Semua orang Asing, kecuali Belanda harus meninggalkan wilayah kerajaan Gowa.
3)      Kerajaan Gowa harus mengganti kerugian perang.
Dengan penandatanganan perjanjian Bungaya itu, banyak pembesar Gowa tak setuju, seperti Karaeng Galesong, Karaeng Bontomarannu, Karaeng Karunrung, I Fatimah Kaeng Takontu, Juga Raja dari negeri sekutu Gowa, yakni dari Wajo, Mandar dan Luwu. Mereka siap angkat senjata dan meneruskan perlawanan kapan dan dimana saja.
Dengan perjanjian Bongaya, Rakyat Gowa sangat dirugikan maka perangpun kembali berkecamuk. Pertempuran hebat itu membuat Belanda cemas, sehingga menambah bala bantuan dari batavia.
Tgl 5 Agustus 1668 Karaeng Karunrung menyerang Benteng Pannyua (Benteng Ujung Pandang) tempat Spelman bermarkas. Dalam serangan itu, Arung Palakka nyaris tewas.
Menurut catatan Spelman, dalam pertempuran melawan Gowa, banyak orang Belanda yang mati dan terluka. Setiap hari 7-8 orang Belanda dikuburkan, 5 dokter dan 15 pandai besi meninggal. Tenaga bantuan dari Batavia hanya 8 orang yang sehat, dalam waktu 4 minggu, sebanyak 138 serdadu yang mati di Benteng Ujung Pandang dan 52 orang mati diatas kapal.
Pertempuran dahsyat masih tetap terjadi yakni, pada bulan Juni 1669. Pertempuran tersebut cukup banyak menelan korban dari kedua belah pihak, dan akhirnya Belanda berhasil merebut benteng pertahanan yang paling kuat yakni benteng Somba Opu. Benteng Somba Opu dikuasai oleh Belanda pada tanggal 24 Juni 1669. Belanda menyita sebanyak 272 pucuk meriam termasuk Meriam ana’ Mangkasara yang disita Spelman. Benteng Somba Opu kemudian dibumi hanguskan dengan ribuan kilo amunisi dan berhasil menjebol dinding benteng setebal 12 kaki. Ledakan itu membuat udara di atas Benteng memerah dan tanah seperti gempa. Mayat bergelimpangan dimana-mana. Semua istana yang ada di Benteng Somba Opu jatuh terhormat ke tangan Belanda.
2.      Masa Kemunduran Kerajaan Gowa
Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang dialami Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh terhadap perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama setelah hancurnya benteng Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan Kerajaan Gowa yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran. Akibat perjanjian Bongaya, pada tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam perjanjian itu, nyatalah kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri yang ditaklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Aru Palakka menaklukkan hampir seluruh daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka banyak orang Bugis yang pindah ke Makassar. Sejak itu pula penjajahan Belanda mulai tertanam secara penuh di Nusantara.
Makassar, sebagai ibukota kerajaan Gowa mengalami pengalihan-pengalihan baik dari segi penguasaan maupun perkembangan-perkembangannya. Pengaruh kekuasaan Kerajaan Gowa makin lama makin tidak terasa di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan pengikut Aru Palaka dan Belanda . benteng Somba Opu yang selama ini menjadi pusat politik menjadi kosong dan sepi. Namun demikian Sultan Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya yang begitu gigih untuk membela tanah air dari cengkraman penjajah.
Sultan Hasanuddin yang mengendalikan Kerajaan Gowa selama 16 Tahun itu, akhirnya jatuh sakit dan wafat pada 12 Juni 1670. Ia mendapat gelar Tumenanga ri Balla Pangkana.
Para pembesar kerajaan yang tak setuju atas penandatanganan Perjanjian Bungaya tak mau mengaku kalah, selanjutnya bertekad untuk melanjutkan perjuangan di Tanah Jawa dalam membantu perjuangan Raja Banten Sultan Ageng Tirtayasa dan Raja Mataram Raden Trunojoyo.

Demikianlah Sejarah Kerajaan Gowa di bawah tumpuk pemerintahan I Mallombasi Daeng Mattawang, Karaeng Bonto Mangngape, Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla’ Pangkana.

Referensi:
Abdullah, Taufik dkk. 1978. Manusia dalam Kemelut Sejarah. Jakarta LP3ES
---------, dan A.B. Lapian. 2012 Indonesia Dalam Arus Sejarah Jilid 4 (Kolonisasi dan Perlawanan). Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoove.
Boomgaard, Peter dan Jenneke Van Dijk. 2001. Het Indie Boek. Zwolle: Waanders Drukkers
Pringgodigdo, A.K., 1986, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat
Suriadi Mappangara dalam “Ensiklopedi Sejarah Sulawesi Selatan sampai tahun 1905” (2004)

2014. Sejarah Indonesia. Kemendikbud RI 

Tidak ada komentar: