Masa
Pemerintahan Raja Gowa XVI
1.
Masa
Kejayaan Raja Gowa
I
Mallombassi Daeng Mattawang Sultan Muhammad Baqir Karaeng Bonto Mangngape, atau
lebih tersohor dengan gelar Sultan Hasanuddin, adalah Raja ke-XVI yang terkenal
keberaniannya menetang penjajah Belanda dalam wilayah kekuasaan kerajaan Gowa.
Ia terkenal dengan julukan “Ayam Jantan Dari Timur”. Het Hantjes Van
Oosten).
Sultan
Hasanuddin naik tahta pada bulan April tahun (1653-1669), menggantikan ayahnya
Sultan Malikussaid dalam usianya ke-22 tahun. Ibunya adalah seorang Bangsawan
dari Laikang bernama I Sabbe Lokmo Takontu. Lahir 12 Januari 1631.
Sejak
Sultan Hasanuddin naik tahta pada bulan November 1653, Sultan dihadapkan pada
pergolakan. Pertempuran prajurit Kerajaan Gowa melawan Belanda di Buton terus
berkobar, pertempuran ini dipimpin langsung oleh Sultan Hasanuddin. Dalam
serangan itu, benteng pertahanan Belanda di Buton berhasil direbut serta
menawan sebanyak 35 orang Belanda.
Satu
tahun lamanya Sultan Hasanuddin mengendalikan pemerintahan, Mangkubumi Kerajaan
Gowa Karaeng Pattingalloang wafat pada 15 September 1654. Beliau kemudian
digantikan oleh putranya bernama Karaeng Karunrung.
Setelah
Belanda melihat perang dengan Kerajaan Gowa telah banyak menelan biaya,
demikian halnya di sektor perdagangan telah banyak mengalami kerugian. Belanda
kemudian membuat siasat, lalu berniat ingin melakukan perjanjian damai.
Tanggal
17 Agustus 1655 tercapai perjanjian perdamaian 26 pasal sebagai hasil
perundingan antara utusan Gowa yang diwakili Karaeng Popo dengan Gubernur
Jenderal Belanda yang diwakili Dewan Hindia, Van Oudshoon. Pertemuan tersebut
dipimpin oleh Panglima perang Belanda Mayor Van Dam di Batavia.
Perjanjian
itu kemudian oleh Sultan dianggap sangat merugikan Gowa, terutama atas pasal
larangan orang-orang Makassar berdagang di Banda dan Ambon, maka Gowa akhirnya
menolak perjanjian itu.
Pada
tanggal 23 Oktober 1655 Belanda mengutus Willem Van Den Berg dan seorang
berkebangsaan Armenia bernama Choja Sulaeman untuk menghadap Sultan dan
menyampaikan pesan Jenderal Maestsuyker, namun masih tetap gagal.
Tanggal 20 November 1655 utusan Gubernur
Jenderal Joan Maetsyuiker untuk sekian kalinya mencoba lagi menawarkan
perdamaian dengan mengutus van Wesenhager, tetapi Sultan lagi-lagi menolaknya
karena tuntutannya merugikan Kerajaan Gowa. Perundingan itu berlangsung 28
Desember 1655 dimana tuntutan Belanda sebagai berikut:
1) Orang-orang
Makassar yang ada di Maluku boleh kembali ke Negerinya.
2) Raja
Gowa boleh menagih utang piutangnya di Ambon
3) Orang-orang
tawanan dari kedua belah pihak harus diserahkan pada pihak masing-masing.
4) Musuh-musuh
dari Belanda tidak akan menjadi musuh dari Kerajaan Gowa.
5) Belanda
tidak akan mencampuri perselisihan diantara orang-orang Makassar.
6) Belanda
boleh menangkap semua orang Makassar yang didapati berlayar di Perairan Maluku.
Tuntutan
Belanda itu dinilai oleh Sultan sangat merugikan Gowa, karenanya ditolak oleh
Sultan dan berbalik melawan untuk berperang. Ia didukung oleh Mangkubuminya
Karaeng Karunrung serta Karaeng Galesong dan Karaeng Bonto Marannu untuk unjuk kekuatan.
Menuju
pada perundingan perdamaian berikutnya, Sultan mengutus Karaeng Popo mewakili
Kerajaan Gowa ke Batavia. Akhirnya pada tanggal 1 Desember 1660 perjanjian
perdamaian itu ditandatangani oleh Sultan, namun begitupun perjanjian tersebut
tidak berlangsung lama, karena sangat merugikan Kerjaan Gowa, yakni : Larangan
bagi orang-orang Makassar untuk berlayar di Perairan Banda dan Ambon, dan
pengusiran orang-orang Portugis di Makassar.
Sultan
beserta Mangkubuminya Karaeng Karunrung menolak keras perjanjian perdamaian
itu. Malah Sultan memaklumkan perang terhadap Belanda, seraya berkata : “Gowa lebih suka berperang terus melawan
belanda dari pada memenuhi segala isi perjanjian yang disodorkan oleh Belanda
itu”. Sultan kemudian memerintahkan rakyatnya untuk membangun
benteng-benteng pertahanan. Benteng yang dibangun mulai dari Mariso, dari sana
Benteng pertahanan sepanjang 2,5 mil dari Binanga Beru hingga ke Ujung Tanah.
Demikian
berbagai siasat perdamaian yang diajukan Belanda selalu gagal sehingga permusuhan
tidak terelakkan, dan pertempuran pun terus bergolak antara Gowa dengan
Belanda, mulai dari perairan Maluku, Banda sampai Makassar.
Pada bulan Juni 1666 terjadi pertempuran hebat
di perairan Somba Opu. Belanda mengirim sebanyak 22 kapal perang dengan
kekuatan 1604 serdadu ditambah dengan 700 serdadu pembantu dari Jawa dan
Madura, Ambon dan lainnya.
Karena
Belanda putus asa menghadapi kegigihan rakyat Gowa dibawa pimpinan Sultan
Hasanuddin, maka pada bulan Oktober 1666 Belanda menggerakkan armada
persenjataannya yang paling kuat dibawa pimpinan Cornelis Speelman ke perairan
Indonesia bagian timur, guna meruntuhkan kerajaan Gowa dan pengaruh
hegemoninya. Dengan dibantu pasukan Bone sekitar 400 pasukan pimpinan Arung
Palakka dan Kapten Jonker Van Manipa dari Ambon dalam perang melawan Gowa.
Posisi Gowa saat itu, tidak hanya berperang melawan bangsa asing tetapi juga
bangsanya sendiri.
Armada
Belanda tiba di Sombaopu pada 15 Desember 1666, dan keadaan di Gowa semakin
tegang, para pedagang pun menghentikan kegiatannya. Demikian halnya di pihak Kerajaan
Gowa, semua benteng dilengkapi persenjataan dan amunisi serta persiapan makanan
selama berbulan-bulan.
Sementara
itu, Karaeng Bontomarannu dengan armada perangnya sebanyak 700 kapal masih
melakukan perlawanan di Buton. Sementara itu utusan Spelman menghadap Sultan Hasanuddin
untuk menyampaikan tuntutan agar Sultan menyerah saja dan bersedia membayar
kerugian Belanda akibat perang terdahulu. Ternyata tuntutan Spelman itu hanya
taktik belaka untuk memulai peperangan.
Tapi
Sultan Hasanuddin dengan berani menjawab Bila kami diserang, maka kami
mempertahankan diri dan kami menyerang kembali dengan segenap kemampuan yang
ada. Kami berada di pihak yang benar. Kami ingin mempertahankan kebenaran dan
kemerdekaan kami.
Pagi
itu, sekitar Tgl 21 Desember 1666, Spelman mengibarkan Bendera merah pertanda
perang siap dimulai, dentum meriampun mulai menghantam benteng satu persatu dan
kemudian dibalas oleh prajurit Kerajaan Gowa.
Semangat
juang dari prajurit Gowa semakin berkobar, armada perahu kecil yang disebut
armada semut sekali-sekali melakukan serangan terhadap kapal Belanda.
Perlawanan yang gigih dan prajurit Gowa telah mampu memukul basis pertahanan
Belanda.
Dentuman
meriam Belanda secara membabi buta, membuat kapal niaga yang sandar di
Pelabuhan Somba Opu tenggelam satu persatu. Bahkan membumi hanguskan sekitar 30
Desa serta merusak lumbung pangan.
Tgl
1 Januari 1667 Spelman mengerahkan sebagian armadanya untuk menyerang Karaeng
Bontomarannu di Buerah pada 4 Januari 1667. Kemenangan itu dirayakan oleh
Spelman bersama Sultan Buton. Belanda lalu memberikan hadiah 100 ringgit pada
prajurit Buton.
Setelah
itu, armada tempur Spelman melanjutkan perjalanan ke Ternate. Arung Palakka
mengirim pasukannya sebanyak 2000 orang ke Bone untuk membentuk pasukan baru.
Pasukan Bone ini di siapkan untuk menyerbu Kerajaan Gowa di daratan.
Bulan
Juni 1667 Spelman bersama Sultan Mandarsyah yang membawa pasukan ke Ternate
Bacan dan Tidore bergabung dengan pasukan Arung Palakka dan Kapten Jonker van
Manipa.
Dengan
kekuatan dari Belanda itu, akhirnya perang pecah pada tgl 7 Juli 1667 setelah
sekitar 7000 pasukan Kerajaan Gowa melakukan serangan mendadak terhadap pasukan
Belanda dan sekutunya. Empat hari kemudian, Belanda baru berhasil memasuki
perairan Kerajaan Gowa, Tgl 19 Juli perairan Makassar sudah dipenuhi
kapal-kapal Belanda dan Benteng Somba Opu dikepung.
Sultan
Hasanuddin dan Raja Tallo Sultan Harun Al Rasyid yang langsung memimpin
perlawanan itu. Beliau berada di barisan terdepan memimpin para pasukannya,
disusul beberapa pasukan Tubarani, seperti Karaeng Galesong, I Fatimah Daeng
Takontu serta pembesar kerajaan lainnya.
Para
Panglima perang di sebar di beberapa benteng pertahanan. Karaeng Bontosunggu
dipercayakan untuk menjaga pertahanan di Benteng Ujung Pandang sedang Karaeng
Popo memimpin pertahanan di Benteng Panakkukang.
Pada
Tgl 19 Agustus 1667 pagi, benteng Galesong diserang dengan meriam Belanda. Setelah
lumpuhnya benteng Galesong, Belanda lalu membakar gudang beras di Galesong dan
Barombong. Perlawanan yang digencarkan para Tubarani dengan membalas dentuman
meriam ana’ Mangkasara membuat Belanda kocar kacir, demikian halnya pasukan
Arung Palakka berhasil dipukul mundur.
Atas
serangan balasan itu, Spelman memperkuat pasukan 5 armada perang didatangkan
dari Batavia yang dipimpin Komandan Kapten P. Dupon. Dari kekuatan itu Belanda
lalu menyerang Benteng Barombong.
Tgl
5 November 1667 Spelman melapor ke Batavia bahwa pasukannya sudah payah, semangat
tempur merosot, 182 orang serdadu dan 95 matros jatuh sakit, pasukan Buton,
Ternate dan Bugis banyak diserang sakit perut, belum lagi yang mati di medan
perang. Spelman minta lagi dikirimkan pasukan baru.
Maka
datanglah bantuan baru dari Batavia. Atas bantuan pasukan baru itu, anak
benteng pertahanan satu demi satu direbut Belanda. Sultan Hasanuddin pun merasa
sedih, karena yang dihadapi tak hanya musuh, tetapi juga dari sesama bangsa
sendiri, yakni dari Bugis, Ternate dan Buton.
Melihat
Gowa dalam posisi yang kurang menguntungkan, Speelman mengajukan tawaran
perundingan. Tawaran tersebut diterima Sultan dengan pertimbangan, bukan karena
takut berperang tetapi demi menghindari bertambahnya pertumpahan darah yang
lebih banyak di kalangan orang-orang Makassar maupun sesama bangsa sendiri.
Atas pertimbangan yang arif dan bijaksana dari Sultan itu, kedua belah pihak
melakukan perundingan di Bungaya dekat Barombong. Setelah beberapa hari
dilakukan perundingan, akhirnya pada hari Jum’at 18 November 1667 tercapailah
suatu kesepakatan yang ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Bungaya atau
lasim disebut Cappaya ri Bungaya, yang isinya antara lain sebagai berikut:
1) Kerajaan
Gowa harus mangakui hak monopoli VOC.
2) Semua
orang Asing, kecuali Belanda harus meninggalkan wilayah kerajaan Gowa.
3) Kerajaan
Gowa harus mengganti kerugian perang.
Dengan
penandatanganan perjanjian Bungaya itu, banyak pembesar Gowa tak setuju,
seperti Karaeng Galesong, Karaeng Bontomarannu, Karaeng Karunrung, I Fatimah
Kaeng Takontu, Juga Raja dari negeri sekutu Gowa, yakni dari Wajo, Mandar dan Luwu.
Mereka siap angkat senjata dan meneruskan perlawanan kapan dan dimana saja.
Dengan
perjanjian Bongaya, Rakyat Gowa sangat dirugikan maka perangpun kembali
berkecamuk. Pertempuran hebat itu membuat Belanda cemas, sehingga menambah bala
bantuan dari batavia.
Tgl
5 Agustus 1668 Karaeng Karunrung menyerang Benteng Pannyua (Benteng Ujung
Pandang) tempat Spelman bermarkas. Dalam serangan itu, Arung Palakka nyaris
tewas.
Menurut
catatan Spelman, dalam pertempuran melawan Gowa, banyak orang Belanda yang mati
dan terluka. Setiap hari 7-8 orang Belanda dikuburkan, 5 dokter dan 15 pandai
besi meninggal. Tenaga bantuan dari Batavia hanya 8 orang yang sehat, dalam
waktu 4 minggu, sebanyak 138 serdadu yang mati di Benteng Ujung Pandang dan 52
orang mati diatas kapal.
Pertempuran
dahsyat masih tetap terjadi yakni, pada bulan Juni 1669. Pertempuran tersebut cukup
banyak menelan korban dari kedua belah pihak, dan akhirnya Belanda berhasil
merebut benteng pertahanan yang paling kuat yakni benteng Somba Opu. Benteng
Somba Opu dikuasai oleh Belanda pada tanggal 24 Juni 1669. Belanda menyita
sebanyak 272 pucuk meriam termasuk Meriam ana’ Mangkasara yang disita Spelman.
Benteng Somba Opu kemudian dibumi hanguskan dengan ribuan kilo amunisi dan
berhasil menjebol dinding benteng setebal 12 kaki. Ledakan itu membuat udara di
atas Benteng memerah dan tanah seperti gempa. Mayat bergelimpangan dimana-mana.
Semua istana yang ada di Benteng Somba Opu jatuh terhormat ke tangan Belanda.
2.
Masa
Kemunduran Kerajaan Gowa
Peperangan
demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang dialami Gowa,
membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh
terhadap perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama
setelah hancurnya benteng Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan Kerajaan Gowa
yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran.
Akibat perjanjian Bongaya, pada tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam
perjanjian itu, nyatalah kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan
negeri-negeri yang ditaklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Aru Palakka
menaklukkan hampir seluruh daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di
Makassar, maka banyak orang Bugis yang pindah ke Makassar. Sejak itu pula
penjajahan Belanda mulai tertanam secara penuh di Nusantara.
Makassar,
sebagai ibukota kerajaan Gowa mengalami pengalihan-pengalihan baik dari segi
penguasaan maupun perkembangan-perkembangannya. Pengaruh kekuasaan Kerajaan Gowa
makin lama makin tidak terasa di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan
pengikut Aru Palaka dan Belanda . benteng Somba Opu yang selama ini menjadi
pusat politik menjadi kosong dan sepi. Namun demikian Sultan Hasanuddin telah
menunjukkan perjuangannya yang begitu gigih untuk membela tanah air dari
cengkraman penjajah.
Sultan
Hasanuddin yang mengendalikan Kerajaan Gowa selama 16 Tahun itu, akhirnya jatuh
sakit dan wafat pada 12 Juni 1670. Ia mendapat gelar Tumenanga ri Balla
Pangkana.
Para
pembesar kerajaan yang tak setuju atas penandatanganan Perjanjian Bungaya tak
mau mengaku kalah, selanjutnya bertekad untuk melanjutkan perjuangan di Tanah
Jawa dalam membantu perjuangan Raja Banten Sultan Ageng Tirtayasa dan Raja
Mataram Raden Trunojoyo.
Demikianlah Sejarah Kerajaan Gowa di bawah tumpuk pemerintahan I Mallombasi Daeng Mattawang, Karaeng Bonto Mangngape, Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla’ Pangkana.
Referensi:
Abdullah, Taufik dkk.
1978. Manusia dalam Kemelut Sejarah. Jakarta LP3ES
---------,
dan A.B. Lapian. 2012 Indonesia Dalam Arus Sejarah Jilid 4 (Kolonisasi dan
Perlawanan). Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoove.
Boomgaard,
Peter dan Jenneke Van Dijk. 2001. Het Indie Boek. Zwolle: Waanders Drukkers
Pringgodigdo,
A.K., 1986, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat
Suriadi
Mappangara dalam “Ensiklopedi Sejarah Sulawesi Selatan sampai tahun 1905”
(2004)
2014.
Sejarah Indonesia. Kemendikbud RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar