Siapa
Bilang MAKASSAR itu KASAR?
Sebagian orang luar mengidentikkan kekasaran orang
Makassar pada nama kota dan entitas suku yang melekat pada mereka, MAKASSAR.
Merujuk kepada umumnya pola bentukan kata dalam bahasa Indonesia, mereka
kemudian mengeja Makassar sebagai kata “Kasar” yang diberi imbuhan me-
yang menjadikannnya kata kerja aktif. Maka muncullah pemahaman bahwa Makassar
secara historis dibentuk dan dihuni oleh orang-orang yang gemar melakukan
kekasaran.
Kecenderungan pemahaman berbau linguistik ini dapat
dipahami sesaat meski cacat sejarah. Melekatnya generalisasi bahwa orang-orang
Makassar cenderung kasar dan keras, dengan mengambil sampel
pengalaman-pengalaman buruk berkenaan dengan orang Makassar tentu menjadi
pembenaran. Ditambah lagi dengan eksploitasi kekerasan yang disiarkan rutin
oleh media massa terutama TV nasional yang ‘rajin’ meliput drama kekerasan di
Makassar menjadi penguat pemahaman sesat ini.
Ketika berada di linikala sejarah, sebuah teks tidak
pernah berdiri sendiri. Sebuah teks selalu terikat pada tafsir peristiwa yang
mengukuhkan. Tafsir itu kita sebut saja konteks. Konteks selalu membubuhkan
pendalaman akan musabab munculnya teks tersebut. Walaupun tak jarang sebuah
teks memiliki konteks yang beragam. Konteks-konteks yang beragam ini bisa saja
muncul karena banyaknya penutur yang menempelkan kisah pada teks berdasarkan
perspektif subyektifnya, kemudian dengan caranya sendiri sampai ke ruang baca
kita.
Kebenaran konteks bisa kita saring dengan telaah
historis dengan mencocokkan silsilah dan juga pemaknaan yang ada di dalamnya.
Kedua hal ini, dalam agama Islam sering diaplikasikan pada telaah hadist dan
disebut sebagai telaah sanad dan matan. Dalam ilmu umum kita mengenal
heremeneutika, cabang ilmu yang mempelajari tentang tafsir atas teks-teks suci.
Tulisan ini dimaksudkan untuk mencoba membaca ulang
tafsir-historis kekerasan di Makassar dan semoga menjadi semacam petunjuk jalan
yang benar dan terang benderang bagi yang masih memiliki pemahaman stereotyp
atau generalis tentang kekerasan yang dihubungkan dengan masyarakat kota
Makassar, termasuk juga entitas suku-budayanya.
Untuk lebih Jelasnya berikut ini saya paparkan asal
usul nama “Makassar”, dengan tujuan tidak terjadi lagi kekeliruan di masa yang
akan datang.
Asal-Usul
Nama MAKASSAR
Tiga hari berturut-turut Baginda Raja Tallo ke-VI
Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mallingkaang Daeng Mannyonri KaraEng Katangka yang
merangkap Tuma'bicara Butta ri Gowa (lahir tahun 1573), bermimpi melihat cahaya
bersinar yang muncul dari Tallo. Cahaya kemilau nan indah itu memancar
keseluruh Butta Gowa lalu ke negeri sahabat lainnya.
Bersamaan di malam ketiga itu, yakni malam Jum'at
tanggal 9 Jumadil Awal 1014 H atau tanggal 22 September 1605 M. (Darwa rasyid
MS., Peristiwa Tahun-tahun Bersejarah Sulawesi Selatan dari Abad ke XIV s/d
XIX, hal.36), di bibir pantai Tallo merapat sebuah perahu kecil. Layarnya
terbuat dari sorban, berkibar kencang. Nampak sesosok lelaki menambatkan
perahunya lalu melakukan gerakan-gerakan aneh. Lelaki itu ternyata melakukan
sholat.
Cahaya yang terpancar dari tubuh Ielaki itu
menjadikan pemandangan yang menggemparkan penduduk Tallo, yang sontak ramai
membicarakannya hingga sampai ke telinga Baginda KaraEng Katangka. Di pagi buta
itu, Baginda bergegas ke pantai. Tapi tiba-tiba lelaki itu sudah muncul
‘menghadang’ di gerbang istana. Berjubah putih dengan sorban berwarna hijau.
Wajahnya teduh. Seluruh tubuhnya memancarkan cahaya.
Lelaki itu menjabat tangan Baginda Raja yang tengah
kaku lantaran takjub. Digenggamnya tangan itu lalu menulis kalimat di telapak
tangan Baginda "Perlihatkan tulisan ini pada lelaki yang sebentar lagi
datang merapat di pantai,” perintah lelaki itu lalu menghilang begitu saja.
Baginda terperanjat. la meraba-raba matanya untuk memastikan ia tidak sedang
bermimpi. Dilihatnya telapak tangannya tulisan itu ternyata jelas adanya.
Baginda KaraEng Katangka lalu bergegas ke pantai. Betul saja, seorang lelaki
tampak tengah menambat perahu, dan menyambut kedatangan beliau.
Singkat cerita, Baginda menceritakan pengalamannya
tadi dan menunjukkan tulisan di telapak tangannya pada lelaki itu.
“Berbahagialah Baginda. Tulisan ini adalah dua kalimat syahadat,” kata lelaki
itu. Adapun lelaki yang menuliskannya adalah Nabi Muhammad Sallallahu
Alaihi Wassallam sendiri. Baginda Nabi telah menampakkan diri di Negeri
Baginda.
Peristiwa ini dipercaya sebagai jejak sejarah
asal-usul nama "Makassar", yakni diambil dari nama "Akkasaraki
Nabbiya", artinya Nabi menampakkan diri. Adapun lelaki yang mendarat di
pantai Tallo itu adalah Abdul Ma'mur Khatib Tunggal yang dikenal sebagai Dato'
ri Bandang, berasal dari Kota Tengah (Minangkabau, Sumatera Barat).
Baginda Raja Tallo I Mallingkaang Daeng Manyonri
KaraEng Katangka setelah memeluk Agama Islam kemudian bergelar Sultan Abdullah
Awaluddin Awawul Islam Karaeng Tallo Tumenanga ri Agamana. Beliau adalah Raja
pertama yang memeluk agama Islam di dataran Sulawesi Selatan.
Lebih jauh, penyusuran asal nama
"Makassar" dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu:
1.
Makna. Untuk
menjadi manusia sempurna perlu "Ampakasaraki", yaitu menjelmakan
(menjasmanikan) apa yang terkandung dalam bathin itu diwujudkan dengan
perbuatan. "Mangkasarak" mewujudkan dirinya sebagai manusia sempurna
dengan ajaran TAO atau TAU (ilmu keyakinan bathin). Bukan seperti yang dipahami
sebagian orang bahwa "Mangkasarak" orang kasar yang mudah
tersinggung. Sebenarnya orang yang mudah tersinggung itu adalah orang yang
halus perasaannya.
2.
Sejarah.
Sumber-sumber Portugis pada permulaan abad ke-16 telah mencatat nama
"Makassar". Abad ke-16 "Makassar” sudah menjadi ibu kota
Kerajaan Gowa. Dan pada Abad itu pula, Makassar sebagai ibu kota sudah dikenal
oleh bangsa asing. Bahkan dalam syair ke-14 Nagarakertagama karangan Prapanca
(1365) nama Makassar telah tercantum.
3.
Bahasa. Dari
segi Etimologi (Daeng Ngewa, 1972:1-2), Makassar berasal dati kata
"Mangkasarak" yang terdiri atas dua morfem ikat "mang" dan
morfem bebas "kasarak". Morfem ikat "mang" mengandung arti:
a). Memiliki sifat seperti yang terkandung dalam kata dasarnya. b). Menjadi
atau menjelmakan diri seperti yang dinyatakan oleh kata dasarnya. Morfem bebas
"kasarak" mengandung (arti: a). Terang, nyata, jelas, tegas. b).
Nampak dari penjelasan. c). Besar (lawan kecil atau halus).
Jadi, kata "Mangkasarak" Mengandung arti
memiliki sifat besar (mulia) dan berterus terang (Jujur). Sebagai nama, orang
yang memiliki sifat atau karakter "Mangkasarak" berarti orang tersebut
besar (mulia), berterus terang (Jujur). Sebagaimana di bibir begitu pula di
hati.
John A.F. Schut dalam buku "De Volken van Nederlandsch lndie"
jilid I yang beracara : De Makassaren en
Boegineezen, menyatakan: "Angkuh bagaikan gunung-gunungnya, megah
bagaikan alamnya, yang sungai-sungainya di daerah-daerah nan tinggi mengalir
cepat, garang tak tertundukkan, terutama pada musim hujan; air-air terjun
tertumpah mendidih, membusa, bergelora, kerap menyala hingga amarah yang tak
memandang apa-apa dan siapa-siapa. Tetapi sebagaimana juga sungai, gunung nan
garang berakhir tenang semakin ia mendekati pantai. Demikian pulalah orang Bugis dan Makassar, dalam ketenangan dapat
menerima apa yang baik dan indah".
Dalam ungkapan "Akkana Mangkasarak",
maksudnya berkata terus terang, meski pahit, dengan penuh keberanian dan rasa
tanggung jawab. Dengan kata "Mangkasarak" ini dapatlah dikenal bahwa
kalau dia diperlakukan baik, ia lebih baik. Kalau diperlakukan dengan halus,
dia lebih halus, dan kalau dia dihormati, maka dia akan lebih hormat.
Tabe…
Acculk
Von Makassar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar