Sejarah
Perjuangan Karaeng Galesong
Di
dalam sejarah, Galesong adalah salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Gowa.
Karaeng Galesong pertama adalah putra sulung Sultan Hasanuddin dari istri
keempatnya bernama I Hatijah I Lo’mo Tobo yang berasal dari Bonto
Majannang. Karaeng Galesong lahir pada tanggal 29 Maret 1655. Pada masa
pemerintahan Sultan Hasanuddin, Atas
dasar bakat kepemimpinan yang dimilikinya, beliau diangkat oleh ayahnya sebagai
Karaeng (Kare) di Galesong dan namanya menjadi I Mannindori Karaeng Tojeng Karaeng
Galesong (Galesong, termasuk bawahan kerajaan Gowa) dan kemudian menjadi
panglima perang kerajaan Gowa.
Kerajaan
Gowa yang mahsyur berabad di kaki pulau Sulawesi itu, akhirnya takluk di
moncong meriam Kompeni Belanda. Di daerah Bungaya, pada tahun 1667 I
Mallombassi Daeng Mattawang, Sultan Hasanuddin bersimpuh pada klausul
Bungaya (cappaya ri Bungaya) walau sangat merugikan kerajaan. 15 benteng di
sepanjang pesisir selatan runtuh, petinggi kerajaan ramai-ramai tunduk pada
Belanda.
Namun,
Kompeni tidak serta merta menguasai jalur pelayaran Indonesia barat ke timur.
Di laut Spermonde, mereka menyebut adanya gangguan dari “Macassarsche zee rovers”, lanun dari
Makassar. Mereka adalah prajurit Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh I
Mannindori Kare Tojeng, penguasa wilayah Galesong di selatan Somba Opu.
I
Mannindori, Raja Galesong atau Karaenga ri Galesong enggan tunduk
pada isi Perjanjian Bungaya. Dia sesak pada isi perjanjian yang menurutnya
tidak adil. Bulat tekadnya untuk melawan dan memilih meninggalkan tanah
leluhurnya, berlayar ke barat menyusun strategi dan melanjutkan perlawanan.
“Kualleangna tallanga natoalia” lebih baik ku pilih tenggelam dari
pada kembali, begitulah isi benak Karaeng Galesong ketika memutuskan bersiasat
ke laut. Dari pada tinggal tapi hanya jadi pemimpin tanpa pengikut, dari pada
jadi panglima tanpa prajurit. Dari pada jadi Karaeng tanpa pengikut.
Berdasarkan
cerita lisan yang berkembang di dalam masyarakat Galesong bahwa sifat pemberani
telah dibuktikan oleh sejumlah orang Galesong dalam menentang dominasi Belanda
di tanah Makassar. Diceritakan bahawa I Mangngopangi Daeng
Ngutung pernah mengucapkan janji di hadapan Karaeng Galesong, antara
lain:
Bajimaki
anne abbannang kebo’ karaeng
|
Pada
saatnya kita harus berikrar
|
Naki
bulo sibatang
|
Dan
bersatupadu
|
Cera’
sitongka-tongka
|
Seia-sekata
|
Nanipajappa
nikanayya kuntutojeng
|
Dan
menjalankan yang namanya kebenaran
|
Ansorong
bokoi ero’na Balandayya
|
Membelakangkan
keinginan Belanda
|
Aminasa
dudutonga karaeng
|
Sungguh
ku berniat karaeng
|
Ampannepokangi
pasorang
|
Mematahkan
senjatanya
|
Ma’tangnga
parang
|
Di
tengah medan perang
|
Ampanumbangngangi
balembeng ma’bangkeng romang
|
Meruruntuhkannya
bagai Pohon di tepi hutan
|
Punna
nia bura’ne karaeng rewanggang na inakke
|
Jikalau
ada lelaki yang lebih jantan dari saya karaeng
|
Sere’lipa
kuruai kusionjo’ tompo bangkeng
|
Satu
sarung kami berdua saling beradu
|
Kusikekke
kamma lame kukamma mamo kicini karaeng
|
Saling
merobek layaknya ubi, seperti itulah yang karaeng lihat
|
Tedong
a’lagayya jarang sialle ganayya
|
Bagai
kerbau yang beradu, kuda yang bersetubuh
|
Nampa
kicinika I Mangopangngi Daeng Nguntung
|
Kemudian
lihatlah I Mangopangngi Daeng Ngutung
|
Campagana
Bulukumpa
|
Campagana
Bulukumba
|
Sesudah I
Mangopangi lalu berdiri I Pasanri Daeng Kancing bersumpah:
Manna
ka’kanying ilau
|
Walau
awan gelap di barat
|
Bangkeng
barakka kucini
|
Hujan
badai yang kulihat
|
Tamminasayya
|
Tidak
berniat
|
Towali
ri’turungangku
|
Kembali
ke asalku
|
Eja
tompiseng na doang karaeng
|
Kalaulah
merah itulah udang karaeng
|
Tumbang
tompi na nicini
|
Nantilah
runtuh baru kita lihat
|
Nanisombali
tangkana sikalia
|
Kemudian
kita biarkan berlayar (pergi) orang yang tidak berkata tegas
|
Setelah itu, disusul
kemudian I Yumara Daeng Mappasang berikrar:
Bannang
ejayya ri Bajeng
|
Benang
merah dari bajeng
|
Tassampea
ri Galesong
|
Yang
tersangkut di Galesong
|
Tappuki
na ta’kombeka
|
Putus
tapi tak kendor
|
Anrai-raiki
karaengku
|
Ke
timurlah wahai raja
|
Inakke
irayanganta
|
Saya
lebih ke timur lagi
|
Kalakalaukki
karaengku
|
Ke
baratlah wahai raja
|
Inakke
ilaukanna
|
Saya
lebih ke barat lagi
|
Karaengku
jammeng
|
Rajaku
wafat
|
Ikambe
lingka tongi seng ri anja
|
Kami
ikut meninggal
|
Pangkai
jeraku karaeng
|
Tandai
kuburanku wahai raja
|
Tinraki
bate onjokku
|
Tandai
bekas telapak kakiku
|
Tena
kuero karaeng lari ri parang bali
|
Tak
kuingin lari dari medan perang
|
Nakiciniki
I Yumara Daeng Mappasang
|
Lihatlah
I Yumara Daeng Mappasang
|
Bannang
ejana Bajeng
|
Benang
merah dari Bajeng
|
Panjarianna
tumanurunga ri Ko’mara
|
Keturunan
tumanurunga’ ri Ko’mara
|
Karaeng
Galesong bersama prajuritnya nan setia, mengembara di Selat Makassar dan
mengganggu kepentingan pelayaran Belanda. Kemudian untuk melanjutkan perlwanan
melawan VOC, Karaeng Galesong ke tanah Jawa. Ia tidak ingin berada di bawah
jajahan Belanda, karenanya memilih untuk meninggalkan tanah Gowa bersama
beberapa kerabat kerajaan. Mereka antara lain Karaeng Tallo Sultan Harun arrasyid
Tumenanga ri Lampana, Daeng Mangappa (saudara kandung Karaeng Tallo), dan
Karaeng Bontomarannu Tumma Bicara Butta Gowa.
Sejarah
menuturkan, perjuangan Karaeng Galesong berlanjut ke tanah Jawa. Karaeng
Galesong melakukan ekspedisi ke Pulau Jawa untuk membantu perjuangan Sultan
Ageng Tirtayasa (Sultan Banten) dan Raden Trunojoyo (Panembahan Maduretno)
dalam memerangi VOC Belanda. Dalam Ekspedisi tersebut terbagi ke dalam beberapa
Gelombang, yakni;
Gelombang
pertama adalah ekspedisi yang dipimpin oleh Laksamana Besar Karaeng
Bontomarannu. Dalam kontingen itu ikut pula para pembesar Kerajaan Makassar
beserta dengan laskarnya, antara lain disebutkan : Sultan Harun Al Rasyid
(Karaeng Tallo), I Ata Tojeng Daeng Tulolo (Adik Sultan Hasanuddin), I
Manindori Karaeng Mangeppe’ dan Syaiful Muluk Karaeng Bonto
Majannang. Ekspedisi perang ini terdiri dari 4 armada dengan kekuatan 800
Laskar yang bersenjata lengkap. Mereka merapat di Pelabuhan Banten pada tanggal
19 Agustus 1671.
Gelombang
kedua dipimpin oleh Settia Raja Opu Cenning Luwu (Petta Matinroe ri
Tompotikka Pajung Luwu XIX) dan I Muntu DaEng Mangappa (Putera Karaeng
Bontomarannu), terdiri dari 2 armada dengan 350 Laskar bersenjata lengkap pula.
Kontingen ini berlabuh di Banten pada tanggal 16 September 1671.
Gelombang
ketiga dipimpin oleh I Mannindori Kare' Tojeng Karaeng Galesong, dimana dalam
kontingen ini pula turut ikut Abdul Hamid Daeng Mangalle bersama kedua
pengawal setianya dan para tokoh besar Kerajaan Gowa lainnya. Mereka itu adalah
I Adulu' Daeng Mangalle (Putera Sultan Hasanuddin), I Fatimah Daeng
Takontu (Puteri Sultan Hasanuddin yang terkenal sebagai Panglima Srikandi
Balira) dan La Mappa Arung Tonra Karaeng Rappocini'. Kontingen inilah yang
paling besar dibanding sebelumnya, yakni : terdiri dari 70 buah armada perang
yang memuat 20.000 laskar bersenjata lengkap. Mereka berlabuh di Pelabuhan
Banten dalam bulan Oktober 1671.
Tidak
dapat dilupakan pula, bahwa hampir bersamaan dengan gelombang pertama ekspedisi
tersebut diatas telah menyusul pula kontingen lain yang bertolak dari Pelabuhan
Makassar , yakni : Laskar Gabungan Melayu-Makassar berkekuatan 1.200 personil
yang dipimpin oleh Ibnu Iskandar Datu Louadin, seorang Minangkabau yang
tinggal menetap sebagai pemimpin masyarakat Melayu di Makassar.
Para
pembesar Kerajaan Gowa dan sekutunya yang menolak menghentikan perang dengan VOC
Belanda ini, menjadikan Kerajaan Banten di Pulau Jawa sebagai tujuan membuka
front pertempuran baru. Disebabkan karena disana telah menetap lebih dulu Syekh Yusuf Tajul Khalwati Al Makassari
(Tuanta Salamaka). Beliau adalah seorang putera Makassar, menantu I
Mangngu’rangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin Sombayya Gowa XVI (kakek
Sultan Hasanuddin) yang diangkat sebagai "Mufti Kerajaan
Banten", lalu dipermenantukan pula oleh Abu'l Fath Abdul Fattah
Sultan Ageng Tirtayasa, Raja Banten (1651-1692).
Pada
masa pasca Perjanjian Bungaya yang kontroversial itu, telah terjadi
perselisihan dalam keluarga antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan puteranya
sendiri, yakni : Sultan Abu Nashar Abdul Kahar yang dikenal pula
sebagai "Sultan Haji".
Sultan
Haji adalah seorang yang sangat loyal terhadap VOC Belanda, sesuatu yang justru
sangat dibenci oleh ayahandanya. Sultan Haji dihasut oleh Belanda dengan
mengadu domba dengan Keluarganya sendiri, dengan alasan bahwa tahta kerjaan
akan diserahkan kepada saudaranya (Pangeran Purbaya) jika tidak segera
bertindak. Maka terjadilah pendurhakaan seorang putera kepada ayahandanya demi
menuruti bujuk rayu VOC Belanda yang teramat sangat mempengaruhi pola
berpikirnya. Maka Perang Banten yang terkenal itu meletus, perang antara ayah dan
anaknya.
Perang
Banten terjadi pada tahun 1678 sampai tahun 1684, perang antara Sultan Ageng
Tirtayasa dengan Puteranya sendiri (Sultan Haji). Sultan Ageng Tirtayasa beserta
puteranya yang lain bernama: Pangeran Hasan (Pangeran
Purbaya) dibantu oleh Syekh Yusuf dan Karaeng Galesong serta para pemberani
Makassar melawan Sultan Haji yang dibantu sepenuhnya oleh VOC Belanda. Perang
itu berkecamuk dengan dahsyatnya, mengakibatkan korban jiwa dan harta benda
yang amat banyak.
Di
tengah berlangsungnya Perang Banten yang melibatkan banyak tokoh berbagai
bangsa itu, tibalah Raden Kejoran (Panembahan Rama), seorang ulama dan
termasuk kerabat dekat Kerajaan Mataram di Banten. Beliau adalah mertua Raden
Trunojoyo yang sedang membangun pergerakan melawan Prabu Amangkurat
I, Sultan Mataram. Atas permintaan dari Adipati Anom, Raden Kejoran meminta
bantuan kepada para petinggi Makassar untuk membantu pergerakan Raden Trunojoyo
melawan dominasi VOC Belanda di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Oleh
karena adanya pertimbangan dari Syekh Yusuf, maka I Mannidori Kare'
Tojeng Karaeng Galesong dan Karaeng Bontomarannu memenuhi undangan itu,
melanjutkan perjuangan melawan VOC di Front Jawa Tengah dan Jawa Timur. Berangkatlah
kedua pemberani Makassar itu bersama segenap laskarnya untuk bergabung dengan
Raden Trunojoyo di Kediri yang turut pula dibantu oleh Daeng Mangika
(putera Sultan Muhammad Ali Sombayya Gowa XVIII), I Mappa Arung Tonra
Karaeng Rappocini', Karaeng Mamampang dan Sultan Harun Al Rasyid
Karaeng Tallo yang disertai oleh para laskar Bima. Dalam bulan itu
pula, susul menyusul pemberani lainnya untuk membantu Raden Tunojoyo, yakni
: I Muntu Daeng Mangappa dan I Ata Tojeng Daeng Tulolo bersama
segenap laskarnya pula.
Di
masa itu Karaeng Galesong diakrabi oleh Trunojoyo dan mendapat restu menikahi putrinya
yang bernama Suratna, untuk mempererat hubungannya. Bersama Trunojoyo, bara
perlawanan kepada Kompeni tak jua padam. Mereka bersatupadu melanjutkan
perlawaanan di kerjaan Mataram terhadap Belanda pada tahun 1676-1679.
Di
bawah pimpinan Trunojoyo, pasukan gabungan orang-orang Madura, dan pemberani Makassar,
dan Surabaya berhasil mendesak pasukan Amangkurat I. Kemenangan demi kemenangan
atas pasukan Amangkurat I menimbulkan perselisihan antara Trunojoyo dan Adipati
Anom. Trunojoyo diperkirakan tidak bersedia menyerahkan kepemimpinannya kepada
Adipati Anom. Sehingga berbalik mendukung ayahnya dan memusuhi Trunojoyo.
Sebelum
pernikahan antara Karaeng Galesong dengan anaknya, Trunojoyo meminta Karaeng
Galesong dengan pasukannya membantu menyerang Gresik dan Surabaya yang berada
dalam kekuasaan Adipati Anom, Dalam beberapa kali pertempuran dengan Belanda
yang membantu Mataram, Pasukan Karaeng Galesong seperti ditulis ahli sejarah
Belanda, Degraff, Karaeng Galesong berhasil mengobrak-abrik pasukan Adipatai
Anom yang kemudian lari ke jawa Tengah. Akhirnya pasukan Madura dan Makassar
berhasil merebut Karta (Keraton Plered) ibukota Mataram pada bulan oktober 1676.
Kemuduian I Mannindori Karaeng Galesong memindahkan ibukota itu ke Kediri. Setelah Karta direbut, Amangkurat I terpaksa
melarikan diri dari keratonnya dan berusaha menyingkir ke arah barat, akan
tetapi kesehatannya mengalami kemunduran. Setelah terdesak ke Wonoyoso, ia
akhirnya meninggal di Tegal dan dimakamkan di suatu tempat yang bernama Tegal
Arum.
Karaeng Galesong Abadi di Ngantang,
Kabupaten Malang
Menurut
catatan sejarah, di akhir perjuangannya di tanah Jawa. Beliau wafat Pada
tanggal 21 November 1679 di daerah
Ngantang Kabupaten Malang. Kisah kematiannya diperoleh sejarawan Leonard Andaya
dari Kolonel Archief, yang catatannya sekarang masih tersimpan rapi di Denhaag.
Demikianlah
Sejarah Perjuangan Karaeng Galesong, yang dapat saya shrae pada kesempatan ini.
Daftar
Pustaka
Zainuddin Tika dkk,
Daeng Ruru, . 2008. Panglima Perang Kerajaan Perancis, Pustaka Refleksi,
Makassar
1985 Manusia
Bugis-Makassar, Inti Idayu Press. Jakarta
Ahimsah, Heddy Shri. 1988. Minawang
Hubungan Patron Klien di Sulawesi Selatan, Gajah Mada University Press.
Yogyakarta
Latif, Abdul. 1994 “Galesong
Di Masa Lalu, Studi Tentang Sejarah Maritim di Sulawesi Selatan”. Lembaga
Penelitian, Unhas. Ujung Pandang
Mama’dja, A. J. Bostan
Daeng. 1988. Sejarah Kerajaan Dan Perjuangan Karaeng Galesong Pada Abad XV
– XIX (tidak dipublikasikan)
Manyambeang, A. Kadir
(dkk). 1983. “Jiwa Laut Dalam Sastra Makassar”, Universitas Hasannudin.
Ujung Pandang
Meko, Frieds. 1998. “Dimensi
Sosial Budaya Masyarakat Lokal dalam Pembangunan”. (Kompas, 12 Februari 1998)
Mg, A. Muin. 1977. Menggali
Nilai Sejarah Kebudayaan Sulsera “Siri” dan “Pacce”, Mappress. Ujung Pandang
1974 “Bugis-Makassar
Dalam Manusia dan Kebudayaan” Dalam Berita Antropologi Terbitan Khusus No. 16
1987 Dinamika
Bugis-Makassar, Sinar Krida. Ujung Pandang
Patunru, Abdul Razak
Daeng. 1969. Sejarah Gowa, YKSSP. Ujung Pandang
Salut buat org makasar
BalasHapusMakasih Atas Kunjungan Dan Pujiannya Gan :)
BalasHapusMantap
BalasHapusewako makassar !!!
BalasHapusBura'nena bura'nea, legend pokoknya
BalasHapusterima kasih kunungannya Cika :)
BalasHapusMantap penting perjuangannya...salut
BalasHapusSaya bangga tinggal di galesong ternyata leluhur kami pemberani bura'ne bura'nea.
BalasHapusAda berbagai macam versi tentang kematiannya. Hanya saja di sini tidak dijelaskan secara gambalang.
BalasHapusSampai sekarang masih simpang siur.
Bagi yang mau mempelajari sejarah tentang Sulawesi Selatan secara lengkap silahkan baca referensi dari karangan Abdul Razak Daeng Patunru.
BalasHapusHanya saja bahasa yang di gunakan belum baku. Sehingga perlu pemahaman tersendiri serta di baca berulang-ulang untuk menemukan maksud penulis.
Akan tetapi sampai saat ini buku-buku dari karangan beliau sudah sangat sulit di temukan di pasaran.
Bahkan sepertinya sudah tidak ada lagi. Alangkah lebih baik jika seandainya ada penerbit yang mau mencetak kembali dengan berbagai perbaikan dari srtuktur bahasa agar generasi penerus bisa mempelajari tentang semangat juang dari para pendahulunya.
Ngeri-ngeri sedap, Ewako Galesong.!!!
BalasHapusRewako to Galesong, thanks sudah berkunjung kawan :)
BalasHapusSalut untuk warga galesong
BalasHapusKaraeng galesong tu baranina bura'nea salut
BalasHapusEwako gowa sy bangga dengan darah bajeng yg mengalir di tubuhku
BalasHapus