Misteri
Karaeng Tujua ri Galesong.
Kisah ini berawal pada tahun 1812, ketika Karaeng
Sayanga ri Beba atau yang memiliki nama Abubakar Karaeng Ta Data bin Amas
Madina Batara Gowa, raja Gowa ke XXVl meminta kepada salah seorang Resident
Inggris yang bernama Sir Richard Philips untuk menetap di daerah Beba di
Galesong Utara.
Selama menetap di daerah Galesong, Karaeng Ta Data
yang juga merupakan salah seorang ulama dan pejuang kemerdekaan, sering
melakukan ritual keagamaan berupa pembacaan Ratib (a’rate’) setiap malam Senin
dan malam Jumat, yang sampai saat ini masih terkenal di Galesong dengan sebutan
Rate’ Sanneng (Ratib senin) dan Rate’ Juma’ (Ratib Jumat). Tempat melakukan
ritual tersebut berpindah-pindah setiap minggunya, biasanya digilir di rumah
para bangsawan Galesong pada saat itu.
Bacaan Ratib itu sendiri merupakan bacaan Ratib yang
pernah diajarkan oleh buyut Karaeng Ta Data, yakni Tuanta Salamaka Syekh Yusuf.
Setiap pembacaan Ratib dihadiri oleh banyak orang, selain dari para pengikut
setia Karaeng Ta Data yang terdiri dari Pallapa’ Barambang dan para Cambang.
Juga dihadiri oleh segenap bangsawan Galesong beserta kerabatnya. Karena
banyaknya peserta Ratib, sehingga bacaan itu terdengar menggemuruh memecah
langit malam di Galesong dengan zikir pujian terhadap sang Maha Pencipta.
Rupanya suara-suara bacaan Ratib itu tidak semua
orang di Galesong yang menyukainya, ada sebuah keluarga yang merupakan kerabat
dekat dari Karaeng Galesong, yang tidak suka mendengar suara bacaan itu.
Keluarga itu terdiri dari ayahnya yang bernama Daeng Ta Dg. Baya dan istrinya
bernama Daeng Ta dg. Ngiji, memiliki tujuh orang putri yang hampir setara
perawakannya, sehingga tak bisa diketahui dengan pasti yang mana adik dan yang
mana kakak apabila tak mengenalnya lebih dekat.
Daeng Ta Dg. Baya dan Daeng Ta Dg. Ngiji merupakan
jamaah Ratib yang sangat rajin menghadiri pengajian yang dipimpin oleh Karaeng
Ta Data. Berbeda halnya dengan ketujuh anaknya yang kurang begitu suka
mendengar bacaan tersebut.
Hingga pada suatu malam, setelah melakukan shalat
Isya secara berjamaah, mereka pergi ke rumah Karaeng Galesong untuk melakukan
bacaan Ratib. Karaeng Ta Data memulai membacakan bacaan Ratib Senin yang
kemudian diikuti oleh para jamaahnya. Mereka melakukannya hingga mereka hanyut
dalam samudra bacaan Ratib, kemudian alam fikiran mereka terus masuk kedalam
keadaan fana’ menuju alam ma’rifah Tuhan.
Dalam kekhusyukan itu terdengar suara pengagungan
terhadap Tuhan semakin bergemuruh, sehingga suara-suara yang lain terkalahkan.
Rupanya suara itu cukup mengusik telinga ke tujuh wanita bersaudara ini,
sehingga mereka mengejek para jamaah dengan kata-kata yang tak pantas.
“Singkamma mami kongkong appirau, anjo tau ri
rate ballaka” (Seperti saja anjing yang melolong, itu orang yang di
atas rumah) ejek ke tujuh wanita itu tanpa henti-hentinya sambil tertawa-tawa
pula.
Entah siapa yang memberitahu, tiba-tiba dalam
kekhusyukan zikirnya, Karaeng Ta Data menghentikan bacaan zikirnya, kemudian
dia memanjatkan doa kepada Tuhan, yang ditujukan kepada ke tujuh wanita tadi.
Maka seketika itulah kutukan terhadap ke tujuh wanita itu terjadi. Ke tujuh
wanita itu dikutuk oleh Tuhan melalui doa dari Karaeng Ta Data, sebagai
pelajaran terhadap orang-orang yang sering mengganggu ibadah kepada Tuhan.
Dalam Versi Lain
Ada versi lain mengenai kutukan tersebut. Di
tengah masyarakat Diceritakan bahwa Karaeng Ta Data melaksanakan ibadah shalat
dirumah Karaeng Galesong. Pada waktu itu Karaeng Ta Data menjadi Imam shalat
dan yang jadi makmunnya adalah keluarga dan kerabat Karaeng Galesong termasuk
ketujuh wanita ini. Ketika Karaeng Ta Data rukuk dalam shalatnya, ke tujuh
wanita ini kemudian mengganggu shalat Kareng Ta Data, yakni dengan
mencolok-colok jarinya ke buah pelir Karaeng Ta Data, sehingga Karaeng Ta Data
kemudian marah dan mengutuknya hingga tujuh turunan, yang dipercayai berakhir
ditahun 2010.
Setelah terjadinya kutukan, ke tujuh wanita itu
kemudian menjadi cacat sesuai dengan tabiat buruk atau kesalahan mereka
masing-masing. Seperti uraian di bawah ini :
1. Karaeng Bau (Kakak tertua) dikisahkan memiliki
kelainan berupa cacat pada payu dara yang memanjang, diakibatkan karena sering
mengungkap aib seseorang.
2. Karaeng Te’ne dikisahkan memiliki cacat pada mata
berupa buta, diakibatkan sering melihat atau mencari tahu rahasia orang.
3. Karaeng Kebo dikisahkan memiliki cacat berupa kulit
yang rusak, diakibatkan sering memamerkan kulitnya yang putih dan mulus.
4. Karaeng Kanang dikisahkan memiliki cacat berupa gila
dan sering berdandan dan tertawa-tawa sendiri, diakibatkan terlampau mengagumi
kecantikan sendiri.
5. Karaeng Puji dikisahkan memiliki cacat berupa lumpuh
pada kaki, diakibatkan sifatnya yang suka memandang rendah orang lain.
6. Karaeng Baji dikisahkan memiliki cacat berupa
telinga yang tuli, diakibatkan sering mendengarkan cerita tentang aib
seseorang.
7. Karaeng Bungkoa (Pepea) dikisahkan memiliki cacat
berupa bisu, diakibatkan suka menghina dan menghardik orang lain walaupun
kesalahannya tidak ada. Dikisahkan pula bahwa dia merupakan yang paling jahat
dan kejam dari ke tujuhnya. Dia lebih dikenal dengan nama Karaeng Pepea ri
Galesong.
Setelah ke tujuhnya mengalami cacat pada tubuhnya,
mereka sebagai salah satu keluarga bangsawan Galesong menjadi malu. Biasanya,
di masa lampau keluarga Kerajaan yang mendapat aib akan diasingkan di tempat
terpencil. Kedua orang tua mereka akhirnya membawa anak-anaknya itu ke dalam
salah satu hutan kecil di daerah Bayoa, dan mereka berdiam disitu hingga akhir
hayatnya.
Pemanfaatan
Makhluk Gaib Untuk Santet/Guna-guna (Pappitabai)
Misteri mistis Karaeng Tujua ri Galesong tak lepas
dari para mahluk gaib yang menghuni seputar Makam Karaeng Tujua tersebut.
Menurut penjaga makam, sebenarnya yang sering dipakai oleh para dukun untuk
menyantet orang berdasarkan pesanan seseorang, adalah para mahluk gaib dari golongan
jin yang berada di tempat itu.
Untuk memakai jasa jin disekitar makam tidaklah
begitu sulit, biasanya para dukun datang ke situ, kemudian mengambil sebagian
minyak yang telah disiapkan ditempat itu. Setelah itu minyak yang diambil dan
dibawa pulang, otomatis akan mengundang salah satu jin ditempat itu yang siap
mengabdi terhadap dukun tersebut. Jin yang telah ikut itulah yang kemudian
diperintahkan untuk mencelakai orang yang menjadi sasaran.
“Biasanya para dukun membisniskannya, dengan cara
dia yang menyantet dan kemudian dia pula yang menyembuhkannya dengan sejumlah
bayaran”. Selaras dengan pernyataan di atas, adalah pendapat masyarakat yang
mengakui adanya dukun yang memanfaatkan misteri Tujua ri Galesong untuk mencari
uang.
Secara logika, orang yang sudah meninggal berarti
dia sudah berada pada suatu alam yang bernama alam Barzah. Alam barzah sendiri
memiliki makna yang berarti “dinding yang kokoh”, artinya orang yang sudah
meninggal berada pada suatu tempat yang dikelilingi oleh dinding yang kokoh.
Itu berarti orang yang berada di dalamnya akan sulit untuk keluar dari dinding
tersebut. Lain halnya apabila semasa hidup seseorang memiliki ilmu yang
menggunakan jin sebagai perantara untuk mencapai suatu tujuan. Apabila orang
tersebut meninggal dunia, ilmu yang dimilikinya tidak ikut mati
bersamanya, akan tetapi ilmu itu akan tetap hidup dan biasanya
berperilaku seperti orang tersebut.
Demikian pula halnya dengan Tujua ri Galesong,
setelah mereka wafat, ilmu yang dimiliki oleh mereka akan tetap berada di
tempat itu dan tentu dapat dipergunakan untuk keperluan apa saja. Inilah yang
dimanfaatkan oleh para dukun dalam melaksanakan keperluannya.
Adapun wujud mahluk gaib yang mendiami sekitar makam
Tujua menurut berbagai sumber yang sering berhubungan dengan mereka, adalah
wujudnya seperti anak kecil, tingginya lebih kurang 90 cm, rambutnya melekat
pada batok kepalanya, memakai semacam cawat dari kain yang lusuh serta tubuh yang
agak kumal kelihatannya. Apabila seseorang datang berkunjung ke makam dengan
maksud memakai jasa Karaeng Tujua, maka beberapa di antara mahluk itu yang akan
ikut kepada orang itu, sembari berpegangan pada tangan kiri orang yang memiliki
hajat tersebut. Jumlahnya sangat banyak dan bala tentaranya juga tak terhitung
jumlahnya. Mahluk tersebut siap setiap saat untuk mengabdi kepada manusia.
Metode terjadinya penyakit yang disebabkan ilmu
Karaeng Tujua, menurut kepercayaan masyarakat umum adalah dukun atau orang yang
memiliki hajat datang ke tempat Karaeng Tujua, dan kemudian merapalkan suatu
mantra sembari mengambil minyak wangi di atas pusara. Minyak yang diambil
kemudian dijadikan sebagai media memanggil mahluk gaib, lalu setelah itu dengan
bantuan mahluk gaib itu diterbangkanlah ilmu itu dengan sebuah mantra yang
mengikat. Biasanya ritual itu diberi tumbal berupa pemotongan hewan sebagai
sesaji kepada Karaeng Tujua, padahal yang dijamu itu sebenarnya adalah mahluk
gaib tersebut. Mahluk gaib atau jin itu kemudian memasuki tubuh manusia yang
dituju dengan mengikuti cacat dari salah satu anggota Karaeng Tujua.
Contohnya, apabila ingin membuat seseorang jadi
bisu, maka rombongan jin yang berangkat adalah jin yang memang pada dasarnya
juga bisu, sehingga menyumbat saluran pita suara manusia sehingga manusia itu
menjadi bisu.
Biasanya penyakit yang ditimbulkan oleh mahluk ini
sangat sulit untuk diobati. Pada zaman dahulu, cara yang terbukti efektif untuk
pengobatan penyakit ini ditempuh dengan cara melakukan Royong (Bacaan kisah
yang dilagukan) dengan mengungkit-ungkit kisah terjadinya kutukan yang menimpa
Karaeng Tujua. Tujuannya supaya mereka menjadi malu dan akhirnya meninggalkan
tubuh manusia.
Pemanfaatan mahluk gaib ini bukan hanya untuk
kepentingan negatif, tetapi dapat pula dimanfaatkan untuk kepentingan positif.
Contohnya seperti dimanfaatkan untuk menghimpun telur ikan terbang (Torani),
yang merupakan mata pencaharian terbesar warga Galesong. Karena sebelum turun
melaut, biasanya para nelayan datang menziarahi Karaeng Tujua, sembari membawa
minyak wangi yang telah diberkahi oleh Karaeng Tujua untuk dioleskan pada
setiap ijuk dari pohon kelapa untuk memanggil ikan untuk bertelur.
Mahluk gaib yang menghuni sebagian besar Makam Tujua
masih menganut faham animisme atau belum memiliki agama. Jadi pemanfaatannya
tergantung orang yang memakai jasanya.
Label yang melekat pada Karaeng Tujua ri Galesong,
tentang suatu sosok yang jahat, tentunya dapatlah mulai dicermati lebih
seksama. Karena berdasarkan penulusuran yang sering dimanfaatkan adalah jin
sebagai mahluk gaib, sedangkan ruh dari Tujua tetap berada pada dinding yang
kokoh yang bernama alam Barzah.
Mengenai kutukan yang menimpa mereka, kita dapat
memandang dari sisi hikmah yang dapat diambil dalam peristiwa itu. Karena yang
mengutuknya sesungguhnya adalah Allah, sebagai akibat kesalahan mereka, melalui
perantara wali yang bernama Karaeng Ta Data, untuk pelajaran bagi generasi
berikutnya.
Yang sangat diperlukan oleh Karaeng Tujua apabila
kita berziarah ke makamnya, adalah berupa doa agar mereka terlepas dari
himpitan kekhilafan akibat perbuatan mereka di masa hidupnya. Bukan malah
sebaliknya, yang membuat nama mereka menjadi momok yang sangat menakutkan,
padahal yang mesti ditakuti adalah Tuhan semesta alam ***
Demikian
Artikel Tentang Misteri Karaeng Tujua Ri Galesong.
Referensi:
Hasil Tanya Jawab Tokoh Masyarakat
Galesong (Pachea).
Majalah Mitos Makassar.
1 komentar:
Play King's Royal Slot | Free Demo Play | FBCasino ミスティーノ ミスティーノ 카지노사이트 카지노사이트 dafabet dafabet 138Hard Rock Hotel and Casino Wheatland - VSNOP BET
Posting Komentar