BAHASA DAN
TUTUR
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Bahasa merupakan alat komunikasi
yang digunakan manusia untuk berinteraksi dengan sesamanya. Dengan menguasai
bahasa maka manusia dapat mengetahui isi dunia melalui ilmu dan
pengetahuan-pengatahuan yang baru dan belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Sebagai alat komunikasi dan
interaksi yang hanya dimiliki oleh manusia, bahasa dapat dikaji secara internal
maupun secara eksternal. Secara internal artinya pengkajian tersebut dilakukan
terhadap unsur intern bahasa saja seperti, struktur fonologis, morfologis, dan
sintaksisnya saja. Sedangkan kajian secara eksternal berarti kajian tersebut
dilakukan terhadap hal-hal atau faktor-faktor di luar bahasa, tetapi berkaitan
dengan pemakaian bahasa itu sendiri, masyarakat tutur ataupun lingkungannya.
Cuneiform adalah salah satu bentuk
bahasa tulisan yang pertama kali diketahui, tetapi bahasa lisan dipercaya
mendahului paling tidak sejak sepuluh atau ribuan tahun sebelumnya.
Bahasa bisa mengacu kepada kapasitas
khusus yang ada pada manusia untuk memperoleh dan menggunakan sistem komunikasi
yang kompleks, atau kepada sebuah instansi spesifik dari sebuah sistem
komunikasi yang kompleks. Kajian ilmiah terhadap bahasa dalam semua indra
disebut dengan linguistik.
Sekitar 3000-6000 bahasa yang
digunakan oleh manusia sekarang adalah suatu contoh yang menonjol, tapi bahasa
alami dapat juga berdasarkan visual daripada rangsangan pendengaran, sebagai
contoh pada bahasa isyarat dan bahasa tulis. Kode dan bentuk lain dari sistem
komunikasi artificial seperti yang digunakan untuk pemrograman komputer juga
dapat disebut bahasa. Bahasa dalam konteks ini adalah sebuah sistem isyarat
untuk mengkodekan dan menterjemahkan informasi. Kata bahasa Inggris “language”
yang diturunkan secara langsung dari Latin lingua,
“ language, tongue”, lewat Prancis tua. Hubungan metaforis antara bahasa dan
lidah ada dalam banyak bahasa dan menjadi saksi dalam sejarah munculnya bahasa
lisan. Bila digunakan sebagai konsep umum, “bahasa” mengacu pada kemampuan
kognitif yang membuat manusia dapat belajar dan menggunakan sistem komunikasi
yang kompleks.
Kemampuan bahasa manusia dikatakan
pada dasarnya berbeda dari dan lebih tinggi tingkat kerumitannya daripada
spesies lain. Bahasa manusia sangat rumit dimana ia berdasarkan sekumpulan
aturan berkaitan dengan simbol dan makna, sehingga membentuk sejumlah
kemungkinan penyebutan yang tak terbatas dari sejumlah elemen yang terbatas.
Bahasa dikatakan berasal sejak hominid pertama kali mulai bekerja sama,
mengadopsi sistem komunikasi awal yang berdasarkan pada isyarat ekspresif yang
mengikutkan teori dari pikiran dan dibagi secara sengaja. Perkembangan tersebut
dikatakan bertepatan dengan meningkatnya volume pada otak. Bahasa diproses pada
otak manusia dalam lokasi yang berbeda, tetapi secara khusus berada di area
Broca dan area Wernicke. Manusia mengakuisisi bahasa lewat interaksi sosial di
masa balita, dan anak-anak sudah dapat berbicara dengan fasih sekitar umur tiga
tahun. Penggunaan bahasa telah bercokol dalam kultur manusia dan, selain
digunakan untuk berkomunikasi dan berbagi informasi, ia juga memiliki fungsi
sosial dan kultur, seperti untuk menandakan identitas suatu kelompok,
stratifikasi sosial dan untuk dandanan sosial dan hiburan. Kata “bahasa” juga
dapat digunakan untuk menjelaskan sekumpulan aturan yang membuat ia bisa ada,
atau sekumpulan penyebutan yang dapat dihasilkan dari aturan tersebut.
Semua bahasa bergatung pada proses
semiosis untuk menghubungkan sebuah isyarat dengan sebuah makna tertentu.
Bahasa lisan dan isyarat memiliki sebuah sistem fonologikal yang mengatur
bagaimana suara atau simbol visual digunakan untuk membentuk urutan yang
dikenal sebagai kata atau morfem, dan sebuah sistem sintaks yang mengatur
bagaimana kata-kata dan morfem digunakan membentuk frasa dan penyebutan. Bahasa
tulis menggunakan simbol visual untuk menandakan suara dari bahasa lisan,
tetapi ia masih membutuhkan aturan sintaks yang memproduksi makna dari urutan
kata-kata. Bahasa-bahasa berubah dan bervariasi setiap waktu, dan sejarah evolusinya
dapat direkonstruksi ulang dengan membandingkan bahasa modern untuk menentukan
ciri-ciri mana yang harus dimiliki oleh bahasa pendahulunya untuk perubahan
nantinya dapat terjadi. Sekelompok bahasa yang diturunkan dari leluhur yang
sama dikenal sebagai keluarga bahasa.
Karena semakin banyaknya bahasa yang
digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari berkenaan dengan hubungan
bahasa dengan masyarakat, serta berbagai aspek yang muncul sebagai akibat dari
hubungan itu. Itu lah yang mendasari penulis untuk mengangkat masalah ini
sebagai bahan untuk dikaji.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa perbedaan antara bahasa dengan tutur?
2. Apa pengertian bahasa menurut para ahli?
3. Apa hakikat bahasa?
4. Apa pengertian verbal repertoire?
5. Apa pengertian monolingual, dwilingual, dan
multilingual?
1.3 TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari makalah ini yaitu untuk
dapat memberikan wacana kepada pembaca berupa bahasa sosiolinguistik yang dalam
makalah ini menjelaskan tentang bahasa dan tutur serta verbal repertoire dengan
demikian para pembaca juga mampu mengaplikasikan nilai-nilai yang termuat dalam
kebahasaan yang telah kami paparkan. Di samping itu makalah ini juga bertujuan
untuk memenuhi tugas mata kuliah sosiolinguistik.
BAB II
BAHASA DAN TUTUR,
VERBAL REFERTOIRE
2.1 BAHASA DAN TUTUR
Menurut Ferdinand de Saussure (dalam
Abdul Chaer dan Leonie Agustina 2004 : 30-34) membedakan antara yang disebut langage, langue, dan parole. Ketiga
istilah yang berasal dari bahasa Prancis itu, dalam bahasa Indonesia secara
tidak cermat, lazim dipadankan dengan satu istilah, yaitu bahasa. Padahal ketiganya mempunyai pengertian yang sangat berbeda,
meskipun ketiganya memang sama-sama bersangkutan dengan bahasa. Dalam bahasa
Prancis istilah langage digunakan untuk
menyebut bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang digunakan manusia untuk
berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal di antara sesamanya. Langage ini
bersifat abstrak. Barangkali istilah langage
dapat dipadankan dengan kata bahasa
seperti terdapat dalam kalimat “Manusia mempunyai bahasa, binatang tidak”. Jadi, penggunaan istilah bahasa dalam kalimat tersebut, sebagai
padanan kata langage, tidak mengacu
pada salah satu bahasa tertentu, melainkan mengacu pada bahasa umumnya, sebagai
alat komunikasi manusia. Binatang juga melakukan kegiatan komunikasi, tetapi
alat yang digunakan bukan bahasa.
Istilah kedua dari Ferdinand de
Saussure yakni langue dimaksudkan
sebagai sebuah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok anggota
masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Jadi, langue mengacu pada sebuah sistem
lambang bunyi tertentu yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat
tertentu, yang barangkali dapat dipadankan dengan kata bahasa dalam kalimat, “Nita belajar bahasa Jepang, sedangkan Dika belajar bahasa Inggris”. Sama dengan langage
yang bersifat abstrak, langue juga bersifat abstrak, sebab baik langue maupun langage adalah satu sistem pola, keteraturan, atau kaidah yang ada
atau dimiliki manusia tetapi tidak nyata-nyata digunakan.
Berbeda dengan langage dan langue yang
bersifat abstrak, maka istilah yang ketiga yaitu parole bersifat konkret, karena parole
itu merupakan pelaksanaan dari langue dalam
bentuk ujaran atau tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat di dalam
berinteraksi atau berkomunikasi sesamanya. Parole
di sini barangkali dapat dipadankan dengan kata bahasa dalam kalimat. “Kalau beliau berbicara bahasanya penuh dengan kata daripada
dan akhiran ken”. Jadi, sekali lagi parole itu tidak bersifat abstrak, nyata
ada, dan dapat diamati secara empiris.
Perlu dicatat yang menjadi objek
studi linguistik adalah langue,
sebagai satu sistem bahasa tertentu, tetapi dilakukan melalui parole. Mengapa? Karena parole inilah yang dapat diobservasi
secara empiris. Langue itu tidak
dapat diamati secara empiris karena sifatnya yang abstrak, padahal setiap
penelitian harus dilakukan melalui data empiris itu.
Dari pembahasan mengenai istilah langage, langue, dan parole di
atas terlihat bahwa kata atau istilah bahasa
dalam bahasa Indonesia menanggung beban konsep yang amat berat, karena ketiga
istilah yang berasal dari bahasa Prancis itu dapat dipadankan dengan satu kata bahasa itu, meskipun harus dalam konteks
yang berbeda. Beban konsep atau makna yang ditanggung kata bahasa itu, memang sangat berat, karena selain menanggung konsep
istilah langage, langue, dan parole itu
juga menanggung konsep atau pengertian lain. Perhatikan penggunaan kata bahasa dalam kalimat-kalimat berikut!
Kelima kata bahasa di atas tidak ada
hubungannya baik dengan kata langage,
langue, maupun parole. Yang pertama berarti ‘kebijakan, pandangan’; yang kedua
berarti ‘cara’; yang ketiga berarti ‘alat komunikasi’; yang keempat berarti
‘bahwa’; dan yang kelima berarti ‘agak’.
Sebagai langage bahasa itu bersifat universal, sebab dia adalah satu sistem
lambang bunyi yang digunakan manusia pada umumnya, bukan manusia pada suatu
tempat atau suatu masa tertentu. Tetapi sebagai langue bahasa itu, meskipun ada ciri-ciri keuniversalannya,
bersifat terbatas pada satu masyarakat tertentu. Satu masyarakat tertentu ini
memang agak sukar rumusannya; namun adanya ciri saling mengerti (mutual intelligible) barangkali bisa
dipakai batasan adanya satu bahasa. Jadi, misalnya, penduduk yang ada di Garut
Selatan dengan yang ada di Karawang dan di lereng Gunung Salak, Bogor, masih
berada dalam satu masyarakat bahasa dan dalam satu bahasa, karena mereka masih
dapat mengerti dengan alat verbalnya. Mereka dapat berkomunikasi atau
berinteraksi secara verbal. Begitu juga penduduk yang berada di Banyumas dengan
yang berada di Semarang dan yang berada di Surabaya, masih berada dalam satu
bahasa dan satu masyarakat bahasa karena masih ada saling mengerti di antara
mereka sesamanya.
Adanya saling mengerti antara
penduduk di Garut Selatan dengan penduduk di Karawang adalah karena adanya
kesamaan sistem dan subsistem (fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan
semantik) di antara parole-parole yang mereka gunakan. Begitu juga dengan
penduduk yang ada di Banyumas, Semarang, dan Surabaya, mereka bisa saling
mengerti tentunya karena adanya kesamaan-kesamaan sistem dan subsistem dalam
parole-parole yang mereka gunakan. Begitu juga dengan penduduk yang ada di
Banyumas, Semarang, dan Surabaya, mereka bisa saling mengerti tentunya karena
adanya kesamaan-kesamaan sistem dan subsistem dalam parole-parole yang mereka
gunakan. Tetapi antara penduduk di Garut Selatan dengan penduduk di Banyumas
tidak ada saling mengerti secara verbal di antara mereka sesamanya. Hal ini
terjadi karena parole-parole yang digunakan di antara penduduk di kedua tempat
itu tidak mempunyai kesamaan sistem maupun subsistem. Ketiadaan kesamaan sistem
dan subsistem di antara kedua masyarakat bahasa ini yang menyebabkan tidak
terjadinya saling mengerti, menandai adanya dua sistem langue yang berbeda. Maka dalam kasus parole yang digunakan
penduduk di Garut Selatan dan di Banyumas itu, kita menyebutnya ada dua buah
sistem langue, yaitu bahasa Sunda di Garut Selatan dan bahasa Jawa di Banyumas.
Dengan demikian kita menyebut dua
parole dari dua masyarakat yang berbeda sebagai dua buah bahasa yang berbeda
adalah karena tiadanya saling mengerti secara verbal. Penamaan ini adalah
berdasarkan kriteria linguistik. Namun, dalam berbagai kasus ada ditemui adanya
dua masyarakat bahasa yang saling mengerti, tetapi mengaku menggunakan dua
bahasa yang berbeda dengan nama yang berbeda. Misalnya, penduduk Malaysia dapat
saling mengerti dengan penduduk Indonesia karena secara linguistik ada
persamaan sistem dan subsistem di antara kedua parole yang digunakan. Tetapi
penduduk Malaysia menyatakan dirinya berbahasa Malaysia, sedangkan penduduk
Indonesia menyatakan dirinya berbahasa Indonesia. Maka dalam kasus ini penamaan
bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia bukanlah berdasarkan kriteria linguistik,
melainkan berdasarkan kriteria politik. Bahasa yang digunakan di Malaysia
adalah bahasa Malaysia dan yang digunakan di Indonesia adalah bahasa Indonesia.
Kasus serupa terjadi di Swedia, Norwegia, dan Skandinavia. Secara linguistik
bahasa yang digunakan oleh penduduk di tiga negara itu adalah sebuah bahasa;
tetapi secara politis penduduk di tiga negara itu mengaku memiliki bahasa
masing-masing. Kasus yang agak berbeda terjadi di daratan Cina. Suku-suku
bangsa yang ada di daratan Cina itu tidak dapat berkomunikasi verbal secara
lisan karena secara linguistik bahasa-bahasa mereka berbeda. Tetapi secara
tertulis mereka dapat berkomunikasi dengan baik, karena sistem tulisan mereka
sama, yaitu bersifat ideografis. Artinya, setiap huruf melambangkan sebuah
konsep atau makna, meskipun wujud bunyinya tidak sama. Atau kalau mengikuti
peristilahan de Saussure (1961) setiap huruf melambangkan signifie, meskipun
signifiannya tidak sama. Dalam kasus bahasa Inggris dewasa ini sudah tampak
adannya usaha untuk memberi nama berbeda pada bahasa Inggris yang digunakan
penduduk di Inggris, di Amerika, dan di Australia dengan munculnya nama British English, American English, dan Australian
English.
Di atas sudah dikemukan bahwa parole yang digunakan penduduk di Garut
Selatan, di Karawang, dan di Bogor adalah berbeda, meskipun mereka saling
mengerti, karena masih terdapatnya kesamaan sistem atau subsistem di antara
parole di ketiga tempat tersebut. Jadi, di dalam “keberbedaan” mereka masih
terdapat “kesaling-mengertian”. Dalam kasus ini, parole-parole yang digunakan
di ketiga tempat itu disebut sebagai dialek-dialek dari sebuah bahasa yang
sama. Secara konkret lazim dikatan sebagai: bahasa Sunda dialek Garut, bahasa
Sunda dialek Karawang, dan bahasa Sunda dialek Bogor. Begitu juga dalam contoh
di atas kita menemukan bahasa Jawa dialek Banyumas, bahasa Jawa dialek
Semarang, dan bahasa Jawa dialek Surabaya.
Setiap orang secara konkret memiliki
kekhasan sendiri-sendiri dalam berbahasa (berbicara atau menulis). Kekhasan ini
dapat mengenai volume suara, pilihan kata, penataan sintaksis, dan penggunaan
unsur-unsur bahasa lainnya. Itulah sebabnya, kalau kita akrab dengan seseorang,
kita akan dapat mengenali orang itu hanya dengan mendengar suaranya saja
(orangnnya tidak tampak), atau hanya dengan membaca tulisannya saja (namanya
tidak disebutkan dalam tulisan itu). Ciri khas bahasa seseorang disebut dengan
istilah idiolek. Jadi, kalau ada 1000
orang, maka akan ada 1000 idiolek.
Dari pembicaraan di atas, secara
linguistik dapat disimpulkan bahwa setiap bahasa sebagai langue dapat terdiri dari sejumlah dialek, dan setiap dialek
terdiri dari sejumlah idiolek. Namun perlu juga dicatat bahwa dua buah dialek
yang secara linguistik adalah sebuah bahasa, karena anggota dari kedua dialek
itu bisa saling mengerti; tetapi secara politis bisa disebut sebagai dua buah
bahasa yang berbeda.
Stephen Ulimann (dalam Kinayati
Djojosuroto 2007 : 52-54) menjelaskan perbedaan bahasa dan tutur itu sebagai
berikut:
a. Bahasa adalah wahana
komunikasi (untuk semua orang dalam suatu masyarakat), dan tutur adalah
penggunaan wahana itu oleh seseorang pada suatu kejadian tertentu. Jelasnya, bahasa
adalah sandi (kode) sedangkan tutur
adalah penyandian (enkode), yaitu penggunaan sandi dengan isi makna tertentu, oleh
penutur, yang kemudian didekodekan
(ditafsirkan maknannya) oleh pendengar.
b. Bahasa itu masih merupakan
sesuatu yang potensial (berupa daya yang tersembunyi), merupakan sistem tanda
yang tersimpan di dalam benak (memory)
kita, yang siap diaktualisasikan (diwujudkan)
dan diterjemahkan ke dalam bunyi-bunyi yang bersifat fisik dalam proses tutor.
Jadi, sebenarnya bahasa itu tidak terdiri dari bunyi-bunyi dalam arti fisik,
melainkan terdiri dari kesan-kesan bunyi yang tinggal di balik bunyi-bunyi
nyata yang kita ujarkan atau kita dengar dari orang lain.
c. Tutur adalah penggunaan
bahasa oleh satu orang dalam situasi yang khas (spesifik), suatu tindakan
individual. Sebaliknya bahasa menguasai individu karena bahasa menjadi milik
dan kelengkapan masyarakat secara luas. Bahasa dapat bertindak sebagai alat
komunikasi hanya jika bahasa itu secara mendasar sama bagi semua penutur. Bahasa
adalah lembaga sosial.
d. Sejalan dengan itu, perbedaan
lainnya menyangkut sikap tiap penutur terhadap bahasa dan tutur. Seorang
penutur adalah majikan dari tuturnya sendiri. Tutur bergantung kepada
penuturnya: apakah ia ingin mengatakannya atau tidak, apa yang hendak
dikatakannya, bagaimana ia hendak mengatakannya. Namun, dalam soal bahasa, dia
sebenarnya hanyalah seorang penerima (recipient)
yang pasif. Ia mengasimilasikan (menguasai, berbaur dengan) bahasanya pada masa
awal kanak-kanaknya, dan sejak itu tidak dapat berbuat apa-apa untuk
mengubahnya.
e. Tutur adalah tindak tunggal
yang sama sekali terbatas oleh waktu. Tutur yang panjang berlalu dalam hitungan
menit, bahkan detik. Begitu sebuah kata keluar dari mulut, maka dia tidak dapat
disedot kembali. Sebaliknya, bahasa bergerak lamban sehingga kadang-kadang
tampak mandek. Perubahan sedikit demi sedikit, kalau ada, memerlukan waktu
panjang, bahkan berabad-abad untuk perubahan bunyi dan tata bahasa. Bahasa
adalah gejala sosial yang paling mampu bertahan dibandingkan gejala sosial yang
lain. Lebih mudah membunuhnya daripada memecah-mecahkan bentuk invidualnya
(Sapir, 1921).
f. Tutur itu mempunyai dua
segi (wajah), yaitu segi fisik dan psikologi. Bunyi-bunyi tutor (yang diujarkan
dan kita dengar) adalah peristiwa fisik (berupa gelombang-gelombang bunyi),
sedangkan makna yang dibawa (atau terkandung) oleh bunyi itu merupakan gejala
psikologi. Tetapi bahasa murni bersifat psikologi. Bahasa terbentuk dari
kesan-kesan bunyi, kata, dan unsur-unsur tata bahasa yang tersimpan dalam benak
kita dan tetap tinggal di sana.
Secara ringkas perbedaan utama
antara bahasa dan tutur tadi dapat ditabelkan sebagai berikut:
BAHASA/LANGUE: TUTUR/PAROLE:
Sandi (kode) Penyandian
(pengkodean)
Potensial Diaktualisasikan
Sosial Individual
Pasti (fixed) Bebas
Bergerak
lamban Bergerak
cepat-singkat
Psikologis Psikofisik
2.1.1 Hakikat Bahasa
Dalam kajian linguistik umum bahasa,
baik sebagai langage maupun langue, lajim didefinisikan sebagai
sebuah sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan manusia
sebagai alat komunikasi atau alat interaksi sosial. Sebagai sebuah sistem,
bahasa juga bersifat sistematis,
artinya secara keseluruhan bahasa itu ada kaidah-kaidahnya. Lalu, secara
sistematis artinya, sistem bahasa itu bukan merupakan sistem tunggal, melainkan
ada subsistem-subsistemnya, yang subsistemnya gramatikal dan subsistem
semantik.
Sebagai lambang artinya, setiap
satuan bahasa seperti kata dan kalimat, tentu ada yang dilambangkannya.
Kemudian, karena lambang bahasa itu berupa bunyi, maka lambang bahasa yang
berbunyi [kuda] digunakan untuk melambangkan atau menandai ‘sejenis binatang
berkaki empat yang biasa dikendarai’ dan lambang bahasa yang berbunyi [air]
digunakan untuk melambangkan atau menandai ‘sejenis zat cair yang biasa
digunakan untuk keperluan sehari-hari’.
Lambang bahasa itu bersifat
arbitrer. Artinya, tidak ada “hubungan wajib” antara lambang dengan yang
dilambangkan. Jadi, kalau ditanyakan “mengapa binatang berkaki empat yang biasa
dikendarai” disebut atau dilambangkan dengan bunyi [kuda] tidaklah bisa
dijelaskan. Begitu juga tidak bisa dijelaskan “mengapa zat cair yang biasa
digunakan untuk keperluan sehari-hari” disebut atau dilambangkan dengan bunyi
[air].
Akibat dari sifat arbitrer ini, maka
akan kita dapati adanya sebuah lambang yang digunakan untuk melambangkan dua
maujud yang berbeda. Misalnya, lambang yang berbunyi [pacar] digunakan untuk
melambangkan dua maujud yaitu, ‘kekasih’ dan ‘ pemerah kuku’ atau “inai”. Bisa
juga dua lambang yang berbeda atau lebih digunakan untuk melambangkan maujud
yang sama. Misalnya lambang [mati] , [wafat], dan [meninggal] sama-sama
melambangkan keadaan ‘yang tadinya bernyawa menjadi tidak bernyawa’. Kejadian
lain akibat dari sifat arbitrer ini bisa menjadikan sebuah lambang bunyi
menjadi berbeda dari yang dilambangkan terdahulu. Misalnya lambang yang
berbunyi [ceramah], dulu digunakan untuk melambangkan keadaan ‘bawel, cerewet’;
tetapi sekarang digunakan untuk melambangkan maujud ‘uraian mengenai suatu
bidang ilmu di muka orang banyak’.
Bagian akhir dari definisi tentang
bahasa menyatakan bahwa bahasa itu digunakan oleh para penuturnya untuk
berkomunikasi atau berinteraksi dalam suatu tuturan (Abdul Chaer, 2010 :
14-15).
2.1.2 Pengertian dan Definisi Bahasa Menurut Para
Ahli
Bahasa adalah sistem lambang bunyi
ujaran yang digunakan untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Bahasa
yang baik berkembang berdasarkan suatu sistem, yaitu seperangkat aturan yang
dipatuhi oleh pemakainya. Bahasa sendiri berfungsi sabagai sarana komunikasi
serta sebagai sarana integrasi dan adaptasi.
Bahasa adalah sebuah sistem
pengembangan psikologi individu dalam sebuah konteks inter subjektif (Bill Adams).
Bahasa merupakan bentuk pemikiran
yang dapat dipahami, berhubungan dengan realitas, dan memiliki bentuk dan
struktur yang logis (Wittgenstein).
Bahasa adalah ciri pembeda yang
paling menonjol karena dengan bahasa setiap kelompok sosial merasa dirinya
sebagai kesatuan yang berbeda dari kelompok yang lain (Ferdinand De Saussure).
Bahasa pada dasarnya adalah
pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan onomata (nama benda atau
sesuatu) dan rhemata (ucapan) yang merupakan cermin dari ide seseorang dalam
arus udara lewat mulut (Plato).
Bahasa adalah sebuah sistem simbol
yang bersifat manasuka dan dengan sistem itu suatu kelompok sosial bekerja sama
(Bloch & Trager).
Bahasa adalah sistem berstruktural
mengenai bunyi dan urutan bunyi bahasa yang sifatnya manasuka, yang digunakan,
atau yang dapat digunakan dalam komunikasi antar individu oleh sekelompok
manusia dan yang secara agak tuntas memberi nama kepada benda-benda,
peristiwa-peristiwa, dan proses-proses dalam lingkungan hidup manusia (Carrol).
Bahasa adalah sarana komunikasi yang
efektif walaupun tidak sempurna sehingga ketidaksempurnaan bahasa sebagai
sarana komunikasi menjadi salah satu sumber terjadinya kesalahpahaman
(Sudaryono).
Bahasa adalah suatu sistem bunyi
yang jika digabungkan menurut aturan tertentu menimbulkan arti yang dapat
ditangkap oleh semua orang yang berbicara dalam bahasa itu (William A.
Haviland).
Ada dua pengertian bahasa; pertama,
menyatakan bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa
simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa adalah
sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang
bersifat arbitrer (Keraf dalam Syarif Hidayatullah, 2009).
Bahasa yaitu language can be defined
as a socially shared combinations of those symbol and rule governed
combinations of those symbols (bahasa dapat didefinisikan sebagai kode yang
diterima secara sosial atau sistem konvensional untuk menyampaikan konsep
melalui kegunaan simbol-simbol yang dikehendaki dan kombinasi simbol-simbol
yang diatur oleh ketentuan) (Owen dalam Syarif Hidayatullah, 2009).
Ada dua definisi bahasa. Pertama,
bahasa adalah sistem yang sistematis, barang kali juga untuk sistem generatif.
Kedua, bahasa adalah seperangkat lambang-lambang mana suka atau simbol-simbol
arbitrer (Henry Guntur Tarigan dalam Syarif Hidayatullah, 2009).
Bahasa adalah rangkaian bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar (Kusno Budi Santoso dalam Syarif
Hidayatullah, 2009).
Bahasa adalah sebuah bentuk dan
bukan suatu keadaan (language may be form and not matter) atau sesuatu sistem
lambang bunyi yang arbitrer, atau juga suatu sistem dari sekian banyak
sistem-sistem, suatu sistem dari suatu tatanan atau suatu tatanan dalam
sistem-sistem (W.F. Mackey dalam Syarif Hidayatullah, 2009).
Bahasa adalah sistem simbol bunyi
yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat
arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh
sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran (Wahyu Wibowo dalam
Syarif Hidayatullah, 2009).
Bahasa ialah komunikasi yang paling lengkap
dan efektif untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan dan pendapat kepada
orang lain (Walija dalam Syarif Hidayatullah, 2009).
Ada dua pengertian bahasa. Pertama,
bahasa adalah alat yang dipakai untuk membentuk pikiran dan perasaan, keinginan
dan perbuatan-perbuatan, alat yang dipakai untuk mempengaruhi dan dipengaruhi.
Kedua, bahasa adalah tanda yang jelas dari kepribadian yang baik maupun yang
buruk, tanda yang jelas dari keluarga dan bangsa, tanda yang jelas dari budi
kemanusiaan (A.R. Syamsuddin dalam Syarif Hidayatullah, 2009).
Bahasa adalah suatu sistem yang
mengutarakan dan melaporkan apa yang terjadi pada sistem saraf (Maruli
Pangabean dalam Syarif Hidayatullah, 2009).
Bahasa adalah suatu sarana
penghubung rohani yang amat penting dalam hidup manusia (Ag Soejono dalam
Syarif Hidayatullah, 2009).
2.2 VERBAL REPERTOIRE
Di atas sudah bicarakan bahwa
Ferdinand de Saussure membedakan antara langue
dan parole, antara bahasa sebagai
sebuah sistem yang sifatnya abstrak, dan bahasa dalam penggunaannnya secara
nyata di dalam masyarakat yang bisa kita sebut tataran (Inggris: speech). Pakar lain, Chomsky, tokoh tata
bahasa generatif transformasi, menyebutkan adanya kompetens (Inggris: competence)
di samping performans (Inggris: performance).
Yang dimaksud dengan kompetens adalah kemampuan, yakni pengetahuan yang
dimiliki pemakai bahasa mengenai bahasanya. Sedangkan performans adalah
perbuatan berbahasa atau pemakaian bahasa itu sendiri dalam keadaan yang
sebenarnya di dalam masyarakat. Halliday, tokoh linguistik sistematik, yang
banyak menaruh perhatian pada segi kemasyarakatan bahasa, tidak secara
eksplisit membedakan bahasa sebagai sistem dan bahasa (tuturan) sebagai
keterampilan. Dia hanya menyebut adanya kemampuan
komunikatif (Inggris: Communicative Competence), yang kira-kira merupakan
perpaduan atau gabungan antara kedua pengertian itu. Yang dimaksud dengan
kemampuan untuk menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi dan situasi serta
norma-norma penggunaan bahasa dengan konteks situasi dan konteks sosialnya (Halliday 1972 : 269-293). Jadi, untuk
dapat disebut mempunyai kemampuan komunikatif seseorang itu haruslah mempunyai
kemampuan untuk bisa membedakan kalimat yang gramatikal dan yang tidak
garamatikal, serta mempunyai kemampuan untuk memilih bentuk-bentuk bahasa yang
sesuai dengan situasinya, mampu memilih ungkapan yang sesuai dengan tingkah
laku dan situasi, serta tidak hanya dapat menginterpretasikan makna referensial
(makna acuan) tetapi juga dapat menafsirkan makna konteks dan makna
situasional. Setiap penutur suatu bahasa, tentunya dengan berbagai taraf
gradasi, mempunyai kemampuan komunikatif itu.
Kemampuan komunikatif seseorang
ternyata juga bervariasi, setidaknya menguasai satu bahasa ibu dengan pelbagai
variasinya atau ragamnya; dan yang lain mungkin menguasai, selain bahasa ibu,
juga sebuah bahasa lain atau lebih, yang diperoleh sebagai hasil pendidikan
atau pergaulannya dengan penutur bahasa di luar lingkungannya. Rata-rata
seorang Indonesia yang pernah menduduki bangku sekolah menguasai bahasa ibunya
dan bahasa Indonesia. Selain itu, mungkin menguasai satu bahasa daerah lain
atau lebih, dan juga bahasa asing, bahasa Inggris, atau bahasa lainnya, apabila
mereka telah memasuki pendidikan mengah atau pendidikan tinggi. Semua bahasa
beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai seorang penutur ini biasa
disebut dengan istilah repertoir
bahasa atau verbal repertoir dari
orang itu.
Verbal repertoir sebenarnya ada dua
macam yaitu yang dimiliki setiap penutur secara individual, dan yang merupakan
milik masyarakat tutur secara keseluruhan. Yang pertama mengacu pada alat-alat
verbal yang dikuasi oleh seorang penutur, termasuk kemampuan untuk memilih
norma-norma sosial bahasa sesuai dengan situasi dan fungsinya. Yang kedua
mengacu pada keseluruhan alat-alat verbal yang ada di dalam suatu masyarakat,
beserta dengan norma-norma untuk memilih variasi yang sesuai dengan konteks
sosialnya.
Kajian yang mempelajari penggunaan
bahasa sebagai sistem interaksi verbal di antara para penuturnya di dalam
masyarakat disebut sosiolinguistik
interaksional atau sosiolinguistik
mikro. Sedangkan kajian mengenai penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan
adanya ciri-ciri linguistik di dalam masyarakat sosiolinguistik korelasional atau sosiolinguistik makro (Appel 1976 : 22). Kedua jenis
sosiolinguistik ini, mikro dan makro mempunyai hubungan yang sangat erat, tidak
dapat dipisahkan, karena keduanya saling bergantung. Maksudnya, verbal repertoir
setiap penutur ditentukan oleh masyarakat di mana dia berada; sedangkan verbal
repertoir suatu masyarakat tutur terjadi dari himpunan verbal repertoir semua
penutur di dalam masyarakat itu (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004 :
34-35).
Totalitas variasi dialektal dan
superposed yang diterapkan secara regular dalam masyarakat menyusun repertoire verbal masyarakat tersebut.
Kalau hubungan suatu bahasa bisa berpadu atau tidak berpadu dengan kelompok
sosial, maka repertoire verbal selalu bersifat spesifik pada penduduk tertentu.
Sebagai suatu konsep analitik, repertoire verbal memberi peluang kepada kita
untuk menetapkan hubungan langsung antara bahasa yang berdekatan denagn
kompleksitas sosio-ekonomi masyarakat.
Kita mengukur hubungan ini dalam
bentuk dua konsep: linguistic range dan
degree of compartementalization. Linguistic
range mengacu pada jarak bahasa internal antar variasi yang berdekatan,
yaitu, jumlah total perbedaan linguistik secara murni yang ada dalam
masyarakat, sehingga membedakan masyarakat multibahasa, multidialek, dan
masyarakat homogen. Compartementalization mengacu pada
ketajaman yang digunakan untuk memisahkan variasi tertentu dengan variasi yang
lain, baik menurut dimensi variasi dialektal maupan variasi superposed. Oleh
karena itu kita membicarakan repertoire yang terkopartementalisasi ketika
beberapa bahasa dipakai tanpa pencampuran, ketika dialek dipisahkan dengan
dialek isoglos yang tajam, atau ketika pilihan kata tertentu dibedakan secara
jelas dengan bentuk-bentuk bahasa yang lain. Sebaliknya kita berbicara tentang
repertoire fluid ketika transisi
antara bahasa yang berpadu bersifat gradual atau ketika satu style bahasa
berpadu dengan style yang lain sedemikian rupa sehingga sulit untuk
menggariskan batas yang jelas.
Rentang linguistik suatu repertoire
merupakan suatu fungsi bahasa dan pilihan kata tertentu yang diterapkan sebelum
adanya hubungan (contact). Tetapi dengan periode hubungan tertentu, rentang
linguistik menjadi tergantung pada
jumlah interaksi internal. Semakin tinggi frekuensi interaksi internal, semakin
besar kecenderungan untuk berinovasi muncul di pihak masyarakat tutur untuk
berdifusi melalui interaksi itu. Dengan demikian, apabila arus komunikasi
didominasi oleh pusat tertentu misalnya, sebagaimana Paris mendominasi Perancis
tengah maka rentang linguistiknya relatif kecil. Sebaliknya, fragmentasi
politik dikaitkan dengan diversitas bahasa atau dialek, seperti di Jerman
selatan, yang lama didominasi oleh banyak negeri-negeri kecil yang semi
independen.
Tetapi frekuensi itu bukan
satu-satunya determinan keseragaman. Dalam masyarakat yang terstratifikasi,
para penutur bahasa atau dialek minoritas pada umumnya tinggal berdampingan,
berdagang, dan melakukan hubungan jasa, maka seringkali mempertahankan hubungan
sosial sebagai pekerja dan juragan atau majikan dengan buruh. Namun terlepas
dari hubungan ini, mereka cenderung mempertahankan bahasa mereka sendiri dan
menunjukkan adanya norma-norma sosial yang menetapkan batasan terhadap
kebebasan inter-komunikasi. Compartementalization
mencerminkan norma-norma sosial itu. Hakekat
kendala sosial linguistik ini belum terpahami secara jelas, kendati
beberapa literatur telah menyarankan jalan baru untuk penelitian.
Kita menemukan, misalnya, bahwa
bahasa yang terpisah mempertahankan diri secara lebih siap dalam sistem
kesukuan yang dekat, di mana hubungan darah mendominasi semua aktivitas.
Sebaliknya, pilihan kata khusus yang berbeda secara linguistik, dipertahankan
melalui kendala status yang ditentukan.
Apabila perubahan sosial menyebabkan rontoknya struktur sosial tradisional dan
pembentukan ikatan-ikatan baru, seperti dalam urbanisasi dan kolonialisasi,
maka kendala linguistik antar berbagai variasi juga rontok. Masyarakat yang
berubah secara cepat pada umumnya menunjukkan transisi bertahap dari style
bahasa tertentu dan style yang lain atau apabila masyarakat itu dwibahasa,
terdapat rentang variasi berdekatan yang menjembatani transisi antara kedua
ekstrim (Abdul Syukur Ibrahim, 1993 : 143-146).
2.2.1 Masyarakat Bahasa
Dalam sosiolinguistik Dell Hymes
(dalam Ferdinaen Saragih, 2009) tidak membedakan secara eksplisit antara bahasa
sebagai sistem dan tutur sebagai keterampilan. Keduanya disebut sebagai
kemampuan komunikatif (communicative
competence). Kemampuan komunikatif meliputi kemampuan bahasa yang dimiliki
oleh penutur beserta keterampilan mengungkapkan bahasa tersebut sesuai dengan
fungsi dan situasi serta norma pemakaian dalam konteks sosialnya.
Bahasa berdasarkan verbal repertoire yang dimiliki oleh masyarakat, masyarakat bahasa
dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a) Masyarakat Monolingual (satu bahasa)
Monolingual adalah individu yang
hanya menguasai satu bahasa saja, lebih-lebih bila konsep bahasa yang dimaksud
sangat sempit yakni hanya sebatas pengertian ragam ( I Dewa Putu Wijana dan
Muhammad Rohmadi, 2010 : 55).
Faktor yang mempengaruhi monolingual, antara lain:
1. Di dalam
masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingual, tentunya hanya ada satu
bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala macam tujuan,
keadaan ini hanya mungkin ada dalam masyarakat primitif atau terpencil yang
dewasa ini sukar ditemukan (Fishman dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004
: 118).
2. Dalam guyub
diaglosa, anak-anak kecil mula-mula belajar bahasa L, akibatnya hampir semua
anak-anak muda adalah ekabahasawan L. Begitu menginjak dewasa akan memperoleh
bahasa H, jadilah mereka dwibahasawan L dan H (Sumarsono dan Paina Partana,
2002 : 233).
b)
Masyarakat Bilingual (dua bahasa)
Bilingualisme dalam bahasa Indonesia
disebut juga kedwibahasaan. Bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua
bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara
bergantian (Mackey dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004 : 84). Selain itu, Mackey mengelompokkan empat aspek untuk mempermudah pembicaraan
mengenai bilingual, yaitu sebagai berikut:
1. Tingkat
kemampuan
Kemampuan berbahasa akan nampak pada
empat keterampilan, yaitu menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Keempat
keterampilan ini mencakup level fonologi, gramatik, leksis, semantik, dan
stylistik.
2. Fungsi
Tingkat kefasihan berbahasa
tergantung pada fungsi atau pemakaian bahasa itu. Dapat dikatakan bahwa semakin
sering bahasa itu dipakai, semakin fasihlah penuturnya. Adapun faktor yang
mempengaruhi yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal mencakup antara
lain:
a. Pemakaian
internal seperti menghitung, perkiraan, berdo’a, menyumpah, mimpi, menulis
catatan harian, dan mencatat.
b. Aptitude : bakat atau
kecerdasan dan ini dipengaruhi oleh antara lain : 1. Sex 2. Usia 3. Intelegensi
4. Ingatan 5. Sikap bahasa 6. Motivasi.
Faktor eksternal dipengaruhi oleh :
a.Kontak,
artinya kontak penutur dengan bahasa di rumah, bahasa dalam masyarakat,
bahasa di sekolah, bahasa media massa, dan korespondensi.
b.Variabel, artinya variabel dari kontak penutur tadi
dan ditentukan oleh: 1. Lamanya
kontak 2. Seringnya
kontak 3. Tekanan, artinya bidang yang mempengaruhi penutur dalam pemakaian
bahasa, seperti ekonomi, administratif, kultural, politik, militer, historis, agama, dan demografi.
3. Pergantian antar bahasa
(alternation)
Pergantian
antar bahasa ini bergantung pada kefasihan dan juga fungsi eksternal dan
internal. Kondisi-kondisi penutur berganti bahasa diciptakan paling tidak oleh
tiga hal; yang pertama oleh topik pembicaraan, yang kedua orang yang terlibat
dan ketegangan (tension).
4. Interfensi (interference)
Interfensi
adalah kekeliruan yang disebabkan terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa
atau dialeg ibu ke dalam bahasa dialeg kedua. Interfensi biasa terjadi pada
pengucapan, tata bahasa, kosa kata, dan makna bahkan budaya. Diskripsi
interfensi dengan demikian bersifat individual, jadi bersifat idiosinkrasi dan
parole penutur.
Selain empat
aspek yang telah dikemukakan oleh Mackey, Alwasilah menambahkan dua aspek
lainnya, yaitu:
1.
Pergesaran bahasa (language shift)
Bila suatu
kelompok baru datang ke tempat lain dan bercampur dengan kelompok setempat maka
akan terjadilah pergesaran bahasa (language shift).
2.
Konvergensi (convergence) dan
Indonesianisasi
Konvergensi
adalah kegiatan bertemu dan terutama bergerak menuju kesatuan dan keseragaman.
Indonesianisasi
adalah bahwa kosakata serapan itu mengalami perubahan dalam
bunyi dan
ejaan disesuaikan dengan bahasa Indonesia.
Kedwibahasaan yang ada di Indonesia,
yaitu :
1.
Bahasa daerah dan bahasa Indonesia
Kedwibahasaan
di Indonesia (bahasa daerah dan bahasa Indonesia).
Penggunaan kedwibahasaan ini dapat
terjadi karena :
a.Dalam sumpah
pemuda tahun 1928 menggunakan bahasa Indonesia (pada waktu itu disebut Maleis) dikaitkan dengan perjuangan kemerdekaan dan nasionalisme.
b.Bahasa-bahasa daerah mempunyai
tempat yang wajar di samping pembinaan dan pengembangan bahasa dan kebudayaan
Indonesia.
c.Perkawinan campur antar suku.
d.Perpindahan penduduk dari satu
daerah ke daerah lain disebabkan urbanisasi, transmigrasi, mutasi karyawan atau
pegawai, dan sebagainya.
e.Interaksi antar suku: yakni dalam
perdagangan, sosialisasi dan unsur kantor atau sekolah.
f.Motivasi yang banyak didorong oleh
kepentingan profesi dan kepentingan hidup.
Namun, sering para penutur bahasa
daerah yang juga penutur bahasa Indonesia menggunakan bahasa daerahnya yang
bersifat informal disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
1.Pada upacara adat yang mengharuskan penggunaan bahasa
daerah akan lebih mengesankan
dan lebih sesuai dengan suasana yang diharapakan.
2.Untuk menciptakan suasana khas; umpamanya, antara
anggota-anggota keluarga, teman akrab dan sebagainya.
3.Untuk kepentingan sastra dan menikmati budaya.
c)
Masyarakat Multilingual (lebih dari dua bahasa)
Multilingual adalah masyarakat yang
mempunyai beberapa bahasa. Masyarakat yang
demikian terjadi karena beberapa etnik ikut membantu
masyarakat sehingga dari segi etnik bisa dikatakan sebagai masyarakat majemuk
(plural society) (Sumarsono dan Paina Partana, 2002 : 76).
Adanya perkembangan bahasa dari
monolingual kemudian menjadi bilingual dan pada akhirnya menjadi multilingual
disebabkan banyak faktor. Perkembangan teknologi komunikasi, adanya
globalisasi, pesatnya dunia pendidikan menyebabkan kebutuhan masyarakat
mengenai bahasa mengalami pergeseran serta kemajuan jaman secara tidak langsung
membaurkan antar bahasa.
Dalam sejarah terbentuknya bahasa
yang aneka bahasa kita melihat setidak-tidaknya ada 4 pola yaitu melalui migrasi,
penjajahan, federasi, dan keanekabahasaan di wilayah perbatasan.
Migrasi
Migrasi atau perpindahan penduduk
yang menimbulkan masalah kebahasaan hakikatnya dapat dibagi menjadi 2 jenis.
Jenis pertama adalah sekelompok besar penduduk yang melebarkan sayap ke wilayah
lain yang sudah dihuni oleh kelompok-kelompok lain. Jenis kedua terjadi jika
sejumlah kecil anggota etnik memasuki wilayah yang sudah di bawah kontrol
nasional lainnya.
Penjajahan
Dalam proses penjajahan kontrol itu
dipegang oleh sejumlah orang yang relatif sedikit dari nasionalitas pengontrol
di wilayah baru itu.
Federasi
Federasi adalah penyatuan berbagai
etnik atau nasionalitas di bawah kontrol politik satu negara.
Keanekabahasaan
di wilayah perbatasan
Asal mula keanekabahasaan biasa
terjadi di wilayah perbatasan akibatnya
di perbatasan terjadi bisa jadi ada penduduk yang jadi warganegara A tapi
secara sosiokultur menjadi warganegara B. Komplikasi wilayah perbatasan
biasanya dihubungkan dengan perang. Bangsa yang kalah dipaksa untuk menyerahkan
sebagian wilayah kepada yang menang.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kata bahasa dalam bahasa Indonesia
memiliki lebih dari satu makna atau pengertian. Banyak pakar yang membuat
definisi tentang bahasa dengan pertama-tama menonjolkan segi fungsinya. Bahasa
adalah sistem lambang bunyi arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok
untuk bekerja sama, berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri.
Masalah lain yang berkenaan dengan
pengertian bahasa adalah sebuah tuturan disebut bahasa, yang berbeda dengan
bahasa lainnya; bilamana hanya dianggap sebagai variasi dari suatu bahasa. Dua
buah tuturan bisa disebut sebagai dua bahasa yang berbeda berdasarkan dua buah
patokan, yaitu patokan linguistik dan patokan politis. Secara linguistik dua
buah tuturan dianggap sebagai dua buah bahasa yang berbeda, kalau
anggota-anggota dari dua masyarakat tuturan itu tidak saling mengerti. Karena
rumitnya menetukan suatu parole bahasa atau bukan, hanya dialek saja dari
bahasa yang lain, maka hingga kini belum pernah ada angka yang pasti berupa
jumlah bahasa yang ada di dunia ini.
Kemampuan komunikatif yang dimiliki
individu maupun kelompok disebut verbal repertoire. Jadi verbal repertoire
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu verbal repertoire yang dimiliki individu
dan yang dimiliki masyarakat. Jika suatu masyarakat memiliki verbal repertoire
yang relatif sama dan memiliki penilaian yang sama terhadap pemakaian bahasa
yang digunakan dalam masyarakat disebut masyarakat bahasa.
3.2 SARAN
Mengingat keterbatasan pengetahuan
dan keterampilan yang dimiliki oleh penulis, maka untuk mendapat pemahaman yang
lebih mendasar lagi, disarankan kepada pembaca untuk membaca
literatur-literatur yang telah dilampirkan pada daftar rujukan
Dengan demikian pula diharapkan
adanya saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca, agar makalah ini
dapat memberikan pengetahuan tentang bahasa dan tutur serta verbal repertoire.
DAFTAR
PUSTAKA
Ibrahim,
Abdul Syukur. 1993. Kapita Selekta
Sosiolinguistik. Surabaya : Usaha Nasional.
Sumarsono
dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik.
Yogyakarta : Sabda.
Chaer, Abdul
dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik
Perkenalan Awal. Jakarta : Rineka Cipta.
Djojosuroto,
Kinayati. 2007. Filsafat Bahasa.
Yogyakarta : Pustaka Book Publisher.
Chaer, Abdul. 2010. Kesantunn Berbahasa. Jakarta : Rineka
Cipta.
Wijaya, I
Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2010. Sosiolinguistik
Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Hidayatullah,
Syarif. 2009. “Apa Bahasa Itu? Sepuluh Pengertian Bahasa Menurut Para Ahli”.
(online).
(http://wismasastra.wordpress.com/2009/05/25/apa-bahasa-itu-sepuluh-pengertian-bahasa-menurut-para-ahli,
diakses pada 09 September 2011).
http://carapedia.com/pengertian_definisi_bahasa_menurut_para_ahli_into494/html,
diakses pada 09 September 2011.
Saragih,
Ferdinaen. 2009. “Hubungan Masyarakat dan Bahasa”. (online).
(http://ferdinaen01.blogspot.com/2009/02/hubungan-masyarakat-dan-bahasa/html,
diakses pada 09 September 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar