BAHASA DAN KELAS SOSIAL
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan alat komunikasi yang berbentuk lisan dan tulisan yang
dipergunakan oleh individu maupun masyarakat. Tanpa ada bahasa berarti tidak
ada masyarakat dan tidak ada pergaulan. Sifat-sifat masyarakat terutama dapat
dipelajari dari bahasanya, yang memang menyatakan sesuatu yang hidup dalam
masyarakat tersebut (Kailani, 2001:76).
Sumarsono dan Paina (2004:19) masyarakat itu terdiri dari individu-individu,
secara keseluruhan individu saling mempengaruhi dan saling bergantung, maka
bahasa yang sebagai milik masyarakat juga tersimpan dalam diri masing-masing
individu. Setiap individu dapat bertingkah laku dalam wujud bahasa, dan tingkah
laku bahasa individual dapat berpengaruh luas pada anggota masyarakat bahasa
lain. Oleh karena itu, individu tetap terikat pada aturan permainan yang
berlaku bagi semua anggota masyarakat. Bahasa berfungsi di tengah masyarakat
dan berupaya menjelaskan kemampuan manusia menggunakan aturan-aturan berbahasa
secara tepat dalam situasi-situasi yang bervariasi.
Manusia
merupakan makhluk sosial. Manusia melakukan interaksi, bekerja sama, dan
menjalin kontak sosial di dalam masyarakat. Dalam melakukan hal tersebut,
manusia membutuhkan sebuah alat komunikasi yang berupa bahasa.
B. Rumusan Masalah
Manusia adalah mahkluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri
melainkan mestilah selalu berinteraksi dengan sesamanya. Untuk keperluan
tersebut, manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi sekaligus sebagai
identitas kelompok. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan terbentuknya
kepembagaian bahasa di dunia yang memiliki ciri-ciri yang unik yang
menyebabkannya berbeda dengan bahasa lainnya.
Kelas sosial mengacu pada golongan masyarakat yang mempunyai
kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan,
pendidikan, kedudukan, kasta, dsb. Kasta merupakan sejenis kelas sosial yang
bersifat tertutup, sedangkan kelas sosial lain bersifat terbuka dan
memungkinkan adanya mobilitas sosial. Tidak menutup kemungkinan seorang
individu memiliki lebih dari satu status sosial.
Perbedaan antarkelompok masyarakat tercermin dalam ragam
bahasa yang digunakan. Berbeda dari ragam bahasa dialek regional yang salah
satunya ditandai oleh batas daerah, tanda dalam ragam bahasa kelas sosial
adalah penggunanya. Sehingga dalam sebuah ragam bahasa dialek regional kadang
masih terdapat ragam bahasa kelas sosial jika ditilik dari penggunanya.
Hubungan antara bahasa dengan konteks sosial tersebut
dipelajari dalam bidang Sosiolinguistik, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Trudgill bahwa “Sosiolinguistik adalah bahagian linguistik yang berhubung kait
dengan bahasa, fenomena bahasa dan budaya. Bidang ini juga mengkaji fenomena masyarakat
dan berhubung kait dengan bidang sain sosial seperti Antropologi seperti sistem
kerabat (Antropologi) bisa juga melibatkan geografi dan sosiologi serta
psychologi sosial”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kelas Sosial
Kelas sosial didefinisikan sebagai suatu strata (lapisan)
orang-orang yang berkedudukan sama dalam kontinum (rangkaian kesatuan) status
sosial. Definisi ini memberitahukan bahwa dalam masyarakat terdapat orang-orang
yang secara sendidi-sendidi atau bersama-sama memiliki kedudukan sosial yang
kurang lebih sama. Mereka yang memiliki kedudukan kurang lebih sama akan berada
pada suatu lapisan yang kurang lebih sama pula.
Kelas sosial didefinisikan sebagai pembagian anggota
masyarakat ke dalam suatu hierarki status kelas yang berbeda sehingga para
anggota setiap kelas secara relatif mempunyai status yang sama, dan para
anggota kelas lainnya mempunyai status yang lebih tinggi atau lebih rendah.
Kategori kelas sosial biasanya disusun dalam hierarki, yang berkisar dari
status yang rendah sampai yang tinggi. Dengan demikian, para anggota kelas
sosial tertentu merasa para anggota kelas sosial lainnya mempunyai status yang
lebih tinggi maupun lebih rendah dari pada mereka.
B. Hubungan Bahasa Dengan Konteks
Sosial
Manusia adalah mahkluk sosial yang tidak dapat hidup
sendiri. Untuk keperluan tersebut, manusia menggunakan bahasa sebagai alat
komunikasi sekaligus sebagai identitas kelompok. Hal tersebut dapat dibuktikan
dengan terbentuknya berbagai bahasa di dunia yang memiliki ciri-ciri yang unik
yang menyebabkannya berbeda dengan bahasa lainnya.
Hubungan antara bahasa dengan konteks sosial tersebut
dipelajari dalam bidang Sosiolinguistik, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Trudgill bahwa “Sosiolinguistik adalah bahagian linguistik yang berhubung kait
dengan bahasa, fenomena bahasa dan budaya. Bidang ini juga mengkaji fenomena
masyarakat dan berhubung kait dengan bidang sain sosial seperti Antropologi
seperti sistem kerabat (Antropologi) bisa juga melibatkan geografi dan
sosiologi serta psychologi sosial”.
Manakala, Fishman menyatakan bahwa Sosiolinguistik memiliki
komponen utama yaitu ciri-ciri bahasa dan fungsi bahasa. Fungsi bahasa dimaksud
adalah fungsi sosial (regulatory) yaitu untuk membentuk arahan dan fungsi
interpersonal yaitu menjaga hubungan baik serta fungsi imajinatif yaitu untuk
meneroka alam fantasi serta fungsi emosi seperti untuk mengungkapkan suasana
hati seperti marah, sedih, gembira dan apresiasi.
Perkembangan bahasa yang selari dengan perkembangan
kehidupan manusia di abad modern menunjukkan fenomena yang berubah-ubah antara
lain dengan penggunaan bahasa sebagai alat pergaulan tertentu yang dikenal
dengan variasi bahasa seperti jargon dan argot. Manusia tanpa komunikasi akan
menjadi hampa. Bagaimana manusia berkomunikasi dan bersosialisasi satu sama
lain jika tidak ada bahasa. Bahasa itu dinamis, maksudnya bahasa juga ikut
berubah seiring dengan perubahan waktu.
·
Banjamin
Lee Worf mengemukakan, bahwa manusia terkungkung oleh bahasa. Bahasa
mempengaruhi pandangan hidup mereka. Mereka tidak dapat berpikir kecuali dalam
bahasanya.
·
Sebenarnya
pandangan ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari pendapat guru Whorf,
yakni Edward Sapir.
·
Sapir
berpendapat bahwa masyarakat yang berbeda bahasanya boleh dikatakan hidup dalam
dunia realitas yang berbeda, dalam arti bahwa bahasa mempengaruhi caraberpikir
masyarakat.
·
Dengan
kata lain, bahasa mempengaruhi cara bagaimana masyarakat melihat dunia
sekelilingnya. Pandanganmereka kemudian terkenal dengan nama Hipotesis
Sapir-Whorf.
·
Hipotesis
Sapir-Whorf mengatakan bahwa bahasa milik suatu bangsa menentukan pandangannya
terhadap dunia dan lingkungan sekitarnya.
Namun pada kenyataannya, yang dapat diterima adalah
sebaliknya, yaitu masyarakatlah yang mempengaruhi bahasa. Karena:
·
Banyak contoh yang menunjukkan bahwa
lingkungan dalam suatu masyarakat dicerminkan dalam bahasanya, terutama dalam
leksikonnya.
·
Penilaian yang diberikan masyarakat
pada suatuhal dapat mempengaruhi bahasa. Hal ini dapat terlihat pada gejala
bahasa yang tabu untuk dibicarakan
1. Keterkaitan bahasa dengan kelas
sosial
Kelas Sosial adalah perbedaan hierarkis (stratifikasi)
antara insan atau kelompok manusia dalammasyarakat atau budaya (wikipedia).
Menurut Barger: kelas sosial adalah stratifikasi sosial menurut ekonomi.
Kelas sosial (sosial class) mengacu kepada golongan
masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti
ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dan sebagainya. Sebagai
contoh:
·
Misalnya
si A adalah seorang bapak di keluarganya, yang juga berstatus sosial sebagai
guru. Jika dia guru di sekolah negeri, dia juga masuk ke dalam kelas pegawai
negeri. Jika dia seorang sarjana, dia bisa masuk kelas sosial golongan “terdidik”.
·
Dan
jika pula si A adalah seorang guru yang suaminya seorang pejabat. Jika dia
seorang guru PNS, dia masuk ke dalam kelas pegawai negeri dan juga masuk ke
dalam kelas istri pejabat. Ketika dia berkomunikasi dengan sesama PNS, bahasa
yang digunakannya akan berbeda ketika dia berkomunikasi dengan teman-temannya
sesama istri pejabat.
a. Ragam bahasa kelas sosial
Khususnya Indonesia kelas sosial
sekelompok pejabat yang mempunyai kedudukan tinggi. Tetapi ragam bahasanya
justru nonbaku. Salah satunya Ragam bahasa mereka dapat dikenali dari segi
lafal mereka. Contoh: akhiran –kan yang dilafalkan –ken.
Jadi
perbedaan atau penggolongan kelompok masyarakat manusia tercermin dalam ragam
bahasa golongan masyarakat itu.
b. Kelas sosial dan ragam baku
Ada kaidah yang baku dalam bahasa Inggris. Jika subjek
adalah kata ganti orang ke tiga tunggal (she, he, it), predikat kata kerjanya
harus menggunakan sifiks-s. kemudian diadakan penelitian apakah ada hubungan
antara kelompok sosial dengan gejala bahasa ini. Penelitian diadakan di dua
tempat, yaitu di Detroit (AS) dan di Norwich (Inggris). Informannya meliputi
berbagai tingkat kelas sosial, yaitu:
Ø Kelas Menengah Tinggi (KMT)
Ø Kelas Menengah Atas (KMA)
Ø Kelas pekerja (buruh) menengah (KPM)
Ø Kelas pekerja bawah (KPB)
c. Peranan Labov
Tahun 1966, William Labov menerbitkan hasil penelitiannya
yang luas tentang tutur kota New York, berjudul The Social Stratification of
English in New York City (lapisan sosial Bahasa Inggris di Kota New York). Ia mengadakan
wawancara yang direkam, tidak dengan sejumlah kecil informan, hanya terdiri
dari 340 orang. Dengan ini Lobov memasukkan metode sosiologi ke dalam
penelitiannya. Sosiologi menggunakan metode pengukuran kuantitatif dengan
jumlah besar, dan dengan metode sampling.
Labov, dalam penelitiannya membuktikan bahwa seseorang
individu dari kelas sosial tertentu, umur tertentu, jenis kelamin tertentu akan
menggunakan variasi bentuk tertentu sekian kali dalam suatu situasi tertentu.
Selanjutnya Bernstein mengemukakan anggapan dasar tentang dua ragam bahasa
penutur yang disebut kode terurai/elaborated code (cenderung digunakan dalam
situasi formal) dan kode terbatas/restricted code (cenderung digunakan dalam
situasi informal). Karena pada proses pendidikan kode terurai lebih sering
digunakan, penutur yang terbiasa menggunakan kode terbatas (contohnya kelas
buruh) akan mengalami kesulitan dan berpengaruh pada daya kognisi (atau hasil
belajar).
Ketika Sapir-Whorf menyatakan “pandangan manusia tentang
lingkungannya dapat ditentukan oleh bahasanya”, pendapat ini mendapat beberapa
bukti sanggahan yaitu: lingkungan fisik tempat suatu masyarakat hidup dapat
dicerminkan dalam bahasanya; lingkungan sosial dapat juga dicerminkan dalam
bahasa dan sering dapat berpengaruh pada struktur kosakata; adanya
lapisan-lapisan masyarakat feodal dan kasta yang menimbulkan pengaruh dalam
bahasa; di samping lingkungan dan struktur sosial, nilai-nilai masyarakat dapat
pula berpengaruh pada bahasa masyarakat itu.
Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah masyarakat kelas
menengah-ke bawah yang terdiri dari berbagai kalangan, antara lain pedagang,
pekerja, buruh, pegawai kelas rendahan. Dalam masyarakat juga sering ditemukan
pembedaan terhadap kaum terdidik (orang-orang yang menempuh pendidikan hingga
jenjang perguruan tinggi) dan tidak terdidik (umumnya hanya mengenyam
pendidikan hingga jenjang pendidikan SD—SMP) yang menjadi mayoritas masyarakat
Indonesia. Kebanyakan dari mereka menggunakan ragam umum dalam percakapan
sehari-hari. Seperti yang kita ketahui bahwa biasanya kosa kata dalam ragam
umum sangat sedikit mengandung ragam baku. Dalam buku ini disebutkan bahwa
semakin rendah kelas sosialnya, semakin banyak pemakaian bentuk nonbaku.
Gejala lain yang timbul adalah bahasa Jawa mengenal tiga
tingkat berbahasa yang penggunaannya berdasarkan pada siapa lawan bicara kita.
Tingkatan berbahasa tersebut tidak membedakan kela sosial penggunanya. Meskipun
demikian, dalam masyarakat Jawa sering dikenal pembagian golongan menjadi
priyayi hingga kaum rendahan (dilihat dari sisi kedudukannya dalam masyarakat),
selain itu dikenal pula kaum abangan dan kaum santri (dilihat dari sisi
keagamaan), tiap golongan memiliki kosa kata khusus yang jarang digunakan oleh
golongan lain dan tidak dapat dipungkiri bahwa kata-kata tertentu bisa
menggambarkan sistem kepercayaan dan sistem nilai tata krama penuturnya.
2. Keterkaitan Bahasa dengan
Komunikasi
Bahasa dengan komunikasai sangat berhubungan. Dalam setiap
komunikasi bahasa ada dua pihak yang terlibat, yaitu pengirim pesan (sender)
dan penerima pesan (receiver). Ujaran (berupa kalimat atau kalimat-kalimat)
yang digunakan untuk menyampaikan pesan (berupa gagasan, pikiran, saran, dan
sebagainya) itu disebut pesan. Dalam ini pesan tidak lain penbawa gagasan (pikiran,
saran, dan sebagainya) yang disampaikan pengirim (penutur) kepada penerima
(pendengar). Setiap proses komunikasi bahasa dimulai dengan si pengirim
merimuskan terlebih dahulu yang ingin diujarkan dalam suatu kerangka gagasan.
Proses ini dikenal sebagai istilah semantic encoding.
Ada dua macam komunikasi bahasa, yaitu komunikasi searah dan
komunikasi dua arah. Dalam komunikasi searah, si pengirim tetap sebagai
pengirim, dan si penerima tetap sebagai penerima. Misalnya, dealam komunikasi
yang bersifat memberitahukan, khotbah di mesjid atau gereja, ceramah yang tidak
diikuti Tanya jawab. Dalam komunikasi dua arah, secara berganti-ganti si
pengirim bisa menjadi penerima, dan penerima menjadi pangirim. Komunikasi dua
arah ini terjadi dalam rapat, perundingan, diskusi dan sebagainya.
Sebagai
alat komunikasi, bahasa itu terdiri dari dua aspek yaitu:
Ø Aspek linguistik
Ø Aspek nonlinguistik atau
paralinguistik
Kedua aspek itu bekerjasama dalam membangun komunikasi
bahasa. Aspek linguistik mencakup tataran fonologis, morfologis, dan sintaksis.
Ketiga tataran ini mendukung terbentuknya yang akan disampaikan, yaitu semantik
(yang di dalamnya terdapat makna, gagasan, idea tau konsep). Aspek
paralinguistik mencakup:
Ø Kualitas ujaran, yaitu pola ujaran
seseorang seperti falsetto (suara tinggi), staccato (suara terputus-putus), dan
sebagainya.
Ø Unsur supra segmental, yaitu tekanan
(stress), nada (pitch), dan intonasi.
Ø Jarak dan gerak-gerik tubuh, seperti
gerakan tangan,anggukan kepala, dan sebagainya.
Ø Rabaan, yakni yang berkenaan dengan
indera perasa (pada kulit).
Aspek linguistik dan paralinguistik berfungsi sebagai alat
komunikasi, bersama-sama dengan konteks situasi membentuk atau membangun
situasi tertentu dalam proses komunikasi.
3. Pengaruh bahasa dalam Ragam kelas
Sosial
Perkembangan bahasa yang searah dengan perkembangan
kehidupan manusia di abad modern menunjukkan fenomena yang berubah-ubah antara
lain dengan penggunaan bahasa sebagai alat pergaulan tertentu yang dikenal
dengan variasi bahasa seperti jargon dan argot.
Jargon
Dalam
“Thesaurus: Oxford Thesaurus of English” oleh Maurice Waite (2004) dinyatakan
bahwa jargon adalah bahasa khas, teknis, idiom tertentu, selanga dan lain
sebagainya yaitu “specialized language, technical language, slang, cant, idiom,
argot, patter, patois, vernacular, computerese, legalese, bureaucratese,
journalese, psychobabble, unintelligible language, obscure language,
gobbledegook, gibberish, double Dutch”.
Menurut “The Oxford Companion to the English Language” oleh
Tom McArthur (1996) istilah jargon ini muncul pada abad ke-14 yang merupakan
istilah Bahasa Inggris Abad Pertengahan (Midle English) yaitu ”iargo(u)n”,
“gargoun”, “girgoun” yang berarti kicauan, nyanyian burung-burung, pembicaraan
yang tidak bermakna, merepet /membual ata mericau.
Jargon ini juga terdapat dalam istilah Bahasa Perancis yaitu
“jargoun”, “gargon” dan “gergon”. Kemungkinan makna asalnya yaitu bunyi “echo”
dan merupakan istilah umum yang seringkali mengacu kepada bahasa asing
pedalaman yang bermacam-macam. Hal itu dapat ditemukan dalam ucapan yang
dirasakan sebagai merepet atau ucapan-ucapan kosong (mumbo jumbo), slang,
bahasa pidgin atau bahasa khas dalam perdagangan, profesi atau kelompok
lainnya.
Namun demikian, istilah ini juga sering dihubungkaitkan
dengan ilmu tertentu seperti hukum dan perundang-undangan, kedokteran dan ilmu
pengetahuan yang merupakan jargon teknis maupun jargon saintifik.
Bagi kelompok yang tidak professional maupun tidak
berprofesi, penggunaan bahasanya dinilai penuh dengan istilah maupun kalimat
yang tidak seperti bahasa umumnya sehingga sulit dipahami oleh orang
kebanyakan. Namun bagi anggota kelompok professional tersebut, penggunaan
istilah itu sangat akrab dan mencapai matlamat yang sesungguhnya. Karena faktor
kemudahan dan keakrabannya inilah, jargon dapat menggungkapkan teknis dan gaya
yang menjadi ciri khas dalam kelompok tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kelas sosial mengacu pada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu
dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan,
kasta, dsb. Kasta merupakan sejenis kelas sosial yang bersifat tertutup,
sedangkan kelas sosial lain bersifat terbuka dan memungkinkan adanya mobilitas
sosial. Tidak menutup kemungkinan seorang individu memiliki lebih dari satu
status sosial. Perbedaan antarkelompok masyarakat tercermin dalam ragam bahasa
yang digunakan. Berbeda dari ragam bahasa dialek regional yang salah satunya
ditandai oleh batas daerah, tanda dalam ragam bahasa kelas sosial adalah
penggunanya. Sehingga dalam sebuah ragam bahasa dialek regional kadang masih
terdapat ragam bahasa kelas sosial jika ditilik dari penggunanya.
Labov, dalam penelitiannya membuktikan bahwa seseorang individu dari kelas
sosial tertentu, umur tertentu, jenis kelamin tertentu akan menggunakan variasi
bentuk tertentu sekian kali dalam suatu situasi tertentu. Selanjutnya Bernstein
mengemukakan anggapan dasar tentang dua ragam bahasa penutur yang disebut kode
terurai/elaborated code (cenderung digunakan dalam situasi formal) dan kode
terbatas/restricted code (cenderung digunakan dalam situasi informal). Karena
pada proses pendidikan kode terurai lebih sering digunakan, penutur yang
terbiasa menggunakan kode terbatas (contohnya kelas buruh) akan mengalami
kesulitan dan berpengaruh pada daya kognisi (atau hasil belajar).
Ketika Sapir-Whorf menyatakan “pandangan manusia tentang lingkungannya dapat
ditentukan oleh bahasanya”, pendapat ini mendapat beberapa bukti sanggahan
yaitu: lingkungan fisik tempat suatu masyarakat hidup dapat dicerminkan dalam
bahasanya; lingkungan sosial dapat juga dicerminkan dalam bahasa dan sering
dapat berpengaruh pada struktur kosakata; adanya lapisan-lapisan masyarakat
feodal dan kasta yang menimbulkan pengaruh dalam bahasa; di samping lingkungan
dan struktur sosial, nilai-nilai masyarakat dapat pula berpengaruh pada bahasa
masyarakat itu. Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah masyarakat kelas
menengah-ke bawah yang terdiri dari berbagai kalangan, antara lain pedagang,
pekerja, buruh, pegawai kelas rendahan. Dalam masyarakat juga sering ditemukan
pembedaan terhadap kaum terdidik (orang-orang yang menempuh pendidikan hingga
jenjang perguruan tinggi) dan tidak terdidik (umumnya hanya mengenyam
pendidikan hingga jenjang pendidikan SD—SMP) yang menjadi mayoritas masyarakat
Indonesia. Kebanyakan dari mereka menggunakan ragam umum dalam percakapan
sehari-hari. Seperti yang kita ketahui bahwa biasanya kosa kata dalam ragam
umum sangat sedikit mengandung ragam baku. Dalam buku ini disebutkan bahwa
semakin rendah kelas sosialnya, semakin banyak pemakaian bentuk nonbaku.
Gejala lain yang timbul adalah bahasa Jawa mengenal tiga tingkat berbahasa yang
penggunaannya berdasarkan pada siapa lawan bicara kita. Tingkatan berbahasa
tersebut tidak membedakan kela sosial penggunanya. Meskipun demikian, dalam
masyarakat Jawa sering dikenal pembagian golongan menjadi priyayi hingga kaum
rendahan (dilihat dari sisi kedudukannya dalam masyarakat), selain itu dikenal
pula kaum abangan dan kaum santri (dilihat dari sisi keagamaan), tiap golongan
memiliki kosa kata khusus yang jarang digunakan oleh golongan lain dan tidak
dapat dipungkiri bahwa kata-kata tertentu bisa menggambarkan sistem kepercayaan
dan sistem nilai tata krama penuturnya.
B. Saran
Setelah penjelasan dalam makalah ini, sebagai manusia bisa
penulis memohon maaf apabila terjadi kesalahan dalam penjabaran masalah atau
penyimpangan-penyimpangannya. Penulis menerima saran yang sifatnya membangun
untuk kesempurnaan dalam penulisan makalah selanjutnya. Atas segala
pengertiannya penulis mengucapkan terimaksih.
DAFTAR PUSTAKA
A Chaedar, Alwasiah. Mata Kuliah
Sosiolinguistik, Universitas Pendidikan Indonesia. 1985. Sosiologi Bahasa.
Bandung:Angkasa
Badudu, J.S.1989. Inilah Bahasa
Indonesia Yang Benar. Jakarta: PT. Gramedia Pateda, Mansyur.1987.
Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa
Chaer, Abdul. 1980. Sosiolinguistik
:Perkenalan Awal, Jakarta: Rineka Cipta
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Ketiga Balai Pustaka.
Sumarsono & Partana, Paina.
2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar