Peran Kedwibahasaan Terhadap Kelas Sosial Masyarakat Tutur
I.
LATAR
BELAKANG
Bahasa adalah suatu sistem lambang bunyi yang arbiter yang
dipergunakan oleh masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan
mengidentifikasikan diri.(Kridalaksana di dalam Aslinda, 2010: 1)
Bahasa dapat menggantikan peristiwa/kegiatan yang seharusnya
dilakukan oleh individu/kelompok. Dengan bahasa seorang individu atau kelompok
dapat berinteraksi dengan kelompok atau individu lainnya. Bahasa juga sering
dianggap sebagi produk social atau produk budaya, bahkan merupakan kegiatan tak
terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk social atau budaya tentunya
bahasa merupakan wadah aspirasi social, kegiatan dan perilaku masyarakat.
Bila kita lihat masalah penggunaan bahasa bukanlah milik
perseorangan, melainkan milik suatu kelompok masyarakat, baik suatu kelompok
budaya, kelompok umur, kelompok pekerjaan, maupun kelompok sosial. Jika
dihubungkan dengan kedwibahasaan akan terlihat masalah kedwibahasaan. Hal ini
bukan pula masalah perseorangan, melainkan masalah yang timbul dalam suatu
kelompok pemakai bahasa. Dalam kelompok pemakai bahasa akan terjadi kontak
bahasa sehingga diartikan, bahwa antara kontak bahasa dan dwibahasawan sangat
erat kaitannya.
Oleh karena itu, bila berbicara tentang kelompok masyarakat
atau kelas social yang terdapat didalamnya, tentunya tidak terlepas dari peran
kedwibahasaan yang mampu menyesuaikan kapan dan dimana seseorang akan berbicara
layaknya sebagai masyarakat yang terdidik atau kaum intelek, dan kapan
masyarakat atau individu akan bertindak atau berbicara layaknya masyarakat
tutur pada umumnya.
II.
KEDWIBAHASAAN
Menurut Mackey (dalam Aslinda, 2010:24) kedwibahasaan adalah
the alternative use of two of more
languages by same individual yaitu,
kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seseorang. Dalam membicarakan
kedwibahasaan tercakup beberapa pengertian, seperti masalah tingkat, fungsi, pertukaran/alih kode,
percampuran/campur kode, interferensi, dan integrasi.
Yang
dimaksud dengan masalah tingkat adalah penguasaan bahasa oleh seseorang,
maksudnya sejauh mana seorang itu mampu menjadi dwibahasawan atau sejauh
manakah orang itu mampu mengetahui bahasa yang dipakainya.
Kontak bahasa terjadi pada masyarakat pemakai bahasa atau
terjadi dalam situasi kemasyarakatan tempat seseorang mempelajari unsur-unsur
sistem bahasa yang bukan bahasanya sendiri. Kontak bahasa meliputi segala
peristiwa persentuhan antara dua bahasa oleh penutur dalam konteks sosial. Ciri
yang menonjol dari sentuh bahasa adalah terdapatnya kedwibahasaan/bilingualism atau keanekaragaman bahasa /multilingualisme.
Menurut Ibrahim (1995:189) ada dua asumsi yang mengatakan
bahwa bahasa-bahasa adalah objek, yang secara ideal di antara objek –objek itu
terdapat batas-batas yang jelas. Berimplikasi bahwa setiap ucapan (utterance)
dapat dikategorikan pada satu bahasa tertentu.
Dalam kutipan di atas
dapat diartikan bahwa bahasa adalah suatu objek
yang ideal dan memiliki batas-batas yang jelas, baik dari segi
pengucapan, penggunaan, arti, tetapi tetap mengacu pada satu bahasa. Seorang
dwibahasawan yang menguasai dua bahasa tentunya menggunakan dua bahasa dalam
kehidupannya. Tetapi, biasanya tetap ada
satu bahasa yang akan dipakai atau tetap merujuk pada satu bahasa yang lebih
sering digunakannya. Yaitu, bahasa pertama yang diperoleh dari keluarga ataupun
lingkungannya.
2.1 Fungsi
Kemasyarakatan Dan Kedudukan Masyarakat Bahasa
Bahasa memiliki
fungsi tertentu dalam pergaulan diantara sesama anggota sesuai kelompok /suku
bangsa. Sebagai contoh, bahasa Indonesia dapat menjadi bahasa nasional,bahasa
Negara, bahasa resmi, dan bahasa persatuan antarsuku bangsa .begitupun bahasa
daerah, menjadi bahasa pengantar dalam suatu dserah dalam acara resmi, seperti
pada acara adat yang diselenggarakan pada upacara adat daerah tersebut.
Menurut Nuzulia (2011) Pendekatan sosiologi berkaitan dengan
analisis ranah (domain). Pendekatan ini pertama dikemukakan oleh Fishman.
Pendekatan sosiologi melihat adanya konteks institutional tertentu (domain)
yang terkait dengan dwibahasa yang terdiri dari domain formal dan domain
informal. Ranah (domain) didefinisikan sebagai konsep sosiokultural yang
diabstraksikan dari topik komunikasi, hubungan peran antar komunikator, tempat
komunikasi di dalam keselarasan lembaga masyarakat dan bagian dari aktivitas
masyarakat tutur.
Di sisi lain, ranah
juga adalah konsep teoretis yang menandai satu situasi interaksi yang
didasarkan pada pengalaman yang sama dan terikat oleh tujuan dan kewajiban yang
sama, misalnya keluarga, ketetanggaan, agama, dan pekerjaan. Sebagai
contoh, apabila penutur berbicara di rumah dengan seorang anggota keluarga
mengenai sebuah topik, maka penutur itu dikatakan berada pada ranah keluarga.
Pendek kata, bahasa rendah (low) yang cenderung dipilih dalam domain keluarga,
sedangkan bahasa tinggi dipergunakan dalam domain yang lebih formal, seperti
pendidikan dan pemerintahan.
III.
DWIBAHASAWAN
Dwibahasawan adalah masyarakat yang menguasai dua bahasa
atau lebih yang digunakan secara bergantian, namun masing-masing bahasa
mempunyai peranannya masing-masing. Contohnya masyarakat Indonesia dengan
bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa daerah sebagai bahasa
intrakelompok. Hal ini dapat dilihat juga di Malaysia dengan bahasa Inggris dan
Melayu, Filipina dengan bahasa Inggris dan Tagalog, dan di Haiti dengan bahasa
Perancis dan Kreol Haiti.
Menurut Weinreich
dalam Aslinda (26:2010 )mengatakan seorang yang terlibat dalam praktek
penggunaan dua bahasa secara bergantian itulah yang disebut dengan bilingual
atau dwibahasawan. Tingkat penguasaan bahasa dwibahasawan yang satu berbeda
dengan dwibahasawan yang lain, bergantung pada setiap individu yang
mempergunakannya dan dwibahasawan dikatakan mampu berperan dalam perubahan
bahasa.
Menurut Sumarsono (
2009: 36) meskipun dikatakan, di dalnyaam sebuah bahasa hanya ada sebuah ragam
baku, ditemukan ada situasi yang unik dalam beberapa bahasa, yaitu dalam sebuah
bahasa ditemukan ada dua ragam baku yang sama-sama diakui dan dihormati. Hanya
saja, fungsi dan pemakaiannya berbeda. Peristiwa tersebut disebut diglosia.
3.1 Diglosia
Dalam Masyarakat Aneka Bahasa
Ferguson melihat para penutur sesuatu bahasa, kadang-kadang
memakai ragam bahasa tertentu dan memakai ragam lain untuk situasi lain.
Kemudian ada suatu situasi yang di dalamnya ada dua ragam dari satu bahasa,
hidup berdampingan dengan bahasa lain.
Sebaliknya, ada dua keadaan yaitu, dua kelompok masyarakat
yang berbeda bahasa ternyata bisa saling mengerti meskipun mereka menggunakan
bahasa sendiri-sendiri (Sumarsono 2009:23 )
Contoh nyata yang dapat di gambarkan dalam kutipan diatas,
ialah keadaan di perbatasan Negara Belanda dan Jerman. Jika orang belanda
berhubungan dengan “tetangga”, yang bersuku bangsa Jerman dan berbicara bahasa
berbahasa Jerman,orang Belanda itu, bisa memakai bahasa Belanda, dan orang
Jerman mengerti.
3.2
Diglosia Tanpa Bilingualisme
Kondisi yang diperlukan untuk menciptakan eksistensi diglosia tanpa bilingualisme adalah eksistensi sistem
sosial yang relative umum yang di dalam keanggotaan kelompok diperoleh dari
kelahiran dan tidak mudah hilang ( Ibrahim 1995:207).
Kasus yang ekstrim dalam masalah di atas
adalah di mana kelompok elite memilih untuk mengisolir diri dari populasi lain
yang diajak berkomunikasi atau kalau berkomunikasi dengan mereka harus memakai
penterjemah. Kelompok elite tersebut lebih suka memakai bahasa asing yang
berstatus lebih tinggi dalam komunikasi
antara mereka sendiri.
IV.
KELAS SOSIAL
Kelas sosial mengacu pada golongan orang-orang yang mengacu
kepada golongan masyarakat yang mempunyai
kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi , pekerjaan,
pendidikan, kedudukan, kasta dan sebagainya ( Sumarsono 2009: 43)
Seorang individu mungkin mempunyai status sosial yang lebih
dari satu. Misalnya si A adalah seorang bapak dalam sebuah keluarga , dan juga
berstatus sosial sebagai seorang guru.
Jika dia guru di sekolah negeri, dia akan masuk kedalam kelas pegawai negeri.
Jika dia seorang sarjana, dia bisa masuk kelas sosial golongan “terdidik”.
Ragam kelas sosial masyarakat tergantung pada tingkat kehidupan msyarakat.
Semakin maju tingkat kehidupan masyarakat,maka
semakin banyak ragam kelas sosialnya.
Kelas sosial pada masyarakat, ada yang digolongkan kelas
bawah, menengah, atas, dan kelas atas dan menengah. Kelas menengah dibagi lagi
kelas atas-atas, dan kelas atas bawah, kelas menengah-atas dan kelas
menengah-bawah.
4.1
Ragam Bahasa Kelas Sosial
Ragam bahasa boleh dikatakan merupakan dialek sosial
tersendiri. Jika anggota dari kelas bawah masuk ke perguruan tinggi menjadi
mahasiswa, dia segera meninggalkan dialek sosialnya, dan digantikan dengan
bahasa ragam baku yang biasa dipakai di kalangan universitas dan kalangan
akademis.
Menurut Sumarsono (2009:45) ragam bahasa dialek regional
dapat dibedakan secara cukup jelas dengan dialek regional yang lain. Batas
perbedaan itu, bertepatan dengan batas-batas alam seperti laut, sungai, gunung,
jalan raya, hutan dan sebagainya. Atau mungkin perbedaan itu, ditentukan oleh
organisasi politik atau administrasi pemerintahan.
Contoh yang dapat digambarkan di wilayah Indonesia sendiri
kelas kelompok pejabat yang mempunyai kedudukan tinggi . tetapi ragam bahasanya
nonbaku. Ragam bahasa mereka dapatdikenali dari ragam lafal mereka,yaitu
akhiran –kan, yang dilafalkan –ken, jadi perbedaan atau penggolongan masyarakat
manusia bisa tercermin dalam ragam bahasa golongan masyarakat itu. Dengan kata
lain secara linguistik dapat dikatakan jika dua dialek regional berdampingan ,
di dekat perbatasan itu, bisa jadi kedua unsure dialek itu akan “bercampur”.
Semakin jauh dari batas itu, perbedaan itu semakin besar.
4.2
Kelas Sosial Dan
Ragam Baku
Perubahan bahasa
sebagai hasil dari kontak bahasa. Di samping kontak bahasa, akan terjadi
ambil-mengambil ataupun saling memindahkan pemakaian unsure-unsur bahasa ,
dapat pula terjadi percampuran, atau terjadi pemindahan identitas bahasa pada
bahasa kedua atau sebaliknya ( Aslinda, 2010:26).
Dari kutipan di atas
suatu pernyataan tentang tujuan dan sasaran sosiolingistik menekankan
pada pentingnya pengungkapan dan pencarian serta spesifikasi kaedah-kaedah
dalam cara yang sangat jelas .
Masyarakat umum yang awam pada selik-beluk bahasa jelas
tidak tau banyak tentang bahasa atau ragam baku, tidak tau banyak tentang
kaidah ragam baku. Mereka seolah berjalan sendiri menurutiramanya sendiri. Hal
ini menyebabkan yang sudah umum dan biasa dipakai masyarakat luas dapat tidak
dianggap baku oleh ,masyarakat yang mempunyai otoritas, sebaliknya yang
ditentukan baku jarang digunakan oleh masyarakat. Akibatnya, dalam bahasa
selalu hidup dua bentukan. Misalnya bentuk-bentuk yang dibakukan ialah system dan analisis, tetapi yang umum
dipakai adalah istilah system dan
analisa.
V.
PERISTIWA TUTUR
Bahasa yang berfungsi komunikasi secara luas (eksternal)
sebuah Negara bisa menggunakan bahasa untuk hubungan kontak dengan Negara lain,
misalnya, sebagai fungsi’ window on the
world’ yang diartikan sebagai pembuka
jendela dunia (Ibrahim 1995:282).
Peristiwa tutur adalah berlangsungnya atau terjadinya
interaksi linguistic dalam suatu ujarn atau lebih yang melibatkan penutur dan
lawan tuturnya.
Dalam setiap komunikasi interaktif linguistik, manusia
saling menyampaikan informasi, baik berupa gagasan, maksud, pikiran, perasaan,
maupun emosi secara langsung. Hubunganya dengan peristiwa tutur adalah
berlangsungnya atau terjadinya interaksi liunguistik dalam suatun ujaran yang
melibatkan dua pihak, antara penutur dengan mitra tuturnya.
Menurut Hymes dalam Aslinda (2010: 32), bahwa suatu
peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen yang diakronimkan menjadi
SPEAKING yang terdiri dari Setting dan Scene, Participant,Ends, Act
Sequences, Key, Instrumentalies, Norm of Interaction and Interpretation, and
Gendres. Penjabaran SPEAKING adalah sebagai berikut:
a) Setting, berhubungan dengan waktu dan tempat penuturan
berlangsung, sementara Scene mengacu pada situasi, tempat, dan waktu terjadinya
penuturan.
b) Participant, adalah peserta tutur, atau pihak-pihak yang
terlibat dalam penuturan, yakni ada penutur dan mitra tutur.
c) Ends mengacu pada maksud dan tujuan penuturan.
d) Act
sequences, berkenaan dengan bentuk dan isi ujaran.
e) Key, berhubungan dengan nada suara
f) Instrumentalitiens, berkenaan dengan saluran dan bentuk
bahasa yang digunakan penutur.
g) Norm of interaction and interpretation, ialah norma-norma
yang harus dipahami dan berlaku dalam interaksi.
h) Genre mengacu pada bentuk penyampaian.
VI.
TINDAK TUTUR
Suatu pernyataan tentang tujuan dan sasaran sosiolinguistik
(fishman dalam Ibrahim,1995:142), menekannkan pada pentingnya pengungkapan dan
pencarian serta spesifikasi kaedah-kaedah sosiolinguistik dalam cara yang
sangat jelas. Dalam hal ini mencari kaedah-kaedah atau norma-norma yang
menjelaskan serta memaksakan tingkah laku bahasa dan tingkah laku ke
arah/terhadap bahasa di dalam komunitas ujar,. Kaedah pengguanaan bahasa
didefinisikan kompeten komunikatif para pemakaiannya dalam arti kemampuan nya
menyeleksi kode yang cocok dan mode yang
tepat untuk setting dan aktifitas tertentu.
Searle dalam Aslinda (2010:33) mengemukakan, bahwa dalam
semua interaksi lingual terdapat tindak tutur. Interaksi lingual bukan hanya
lambang, kata atau kaliamat, melainkan lebih tepat bila disebut produk atau
hasil dari lambang , kata, atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur.
Menurut Aslinda, (2010:34) Ada empat faktor yang
menentukan tindak tutur diantaranya,
adalah sebagai berikut:
1. Dengan bahasa apa dia harus bertutur
2. Kepada siapa dia harus menyampaikan
tuturan
3. Dalam situasi bagaimana tuturan itu
disampaikan
4. Kemungkinan-kemungkinan struktur
manakah yang ada dalam bahasa yang digunakan
Dikatakan Tindak
tutur adalah produk atau hasil dari suatu kaliamat dalam kondisi tertentu dan
merupakan kesatuan terkecil dari interaksi lingual. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa tindak tutur yang dikatakan adalah sepenggal tuturan yang
dihasilkan sebagai bagian terkecil dalam interaksi lingual. Tindak tutur dapat
berupa pernyataan, pertanyaan, dan perintah.
Dengan demikian, satu maksud tuturan perlu dipertimbangkan
berbagai kemungkinan tindak tutur sesuai dengan posisi penutur, situasi tutur,
dan kemungkinan struktur yang ada dalam bahasa itu.
VII.
KESIMPULAN
Kedwibahsaan adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa atau
lebih oleh seseorang.
Dwibahasawan adalah masyarakat yang menguasai dua bahasa
atau lebih yang digunakan secara bergantian, namun masing-masing bahasa
mempunyai peranannya masing-masing.
Kelas sosial mengacu pada golongan orang-orang yang mengacu
kepada golongan masyarakat yang mempunyai
kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi , pekerjaan,
pendidikan, kedudukan, kasta dan sebagainya.
Peristiwa tutur adalah berlangsungnya atau terjadinya
interaksi linguistic dalam suatu ujarn atau lebih yang melibatkan penutur dan
lawan tuturnya.
Tindak tutur adalah semua interaksi lingual terdapat tindak
tutur. Interaksi lingual bukan hanya lambang, kata atau kaliamat, melainkan
lebih tepat bila disebut produk atau hasil dari lambang , kata, atau kalimat
yang berwujud perilaku tindak tutur.
Peran kedwibahasaan terhadap kelas sosial suatu masyarakat tutur tidak terlepas dari
kaitan antara kedwibahasaan, dwibahasawan, kelas sosial, peristiwa tutur, dan
tindak tutur. Dwibahasa adalah media yang dipakai oleh dwibahasawan untuk
mengungkapkan, atau mengujarkan kata. Kelas sosial adalah sebagai pembatas atau
sekat, yang menentukan kapan dan dimana suatu peristiwa tutur dapat disesuaikan
dengan situasi dan kondisinya, sehingga produk dari suatu tindak tutur dapat
disamapaikan dengan baik oleh penutur dan dapat diterima dengan baik oleh mitra
tutur tanpa adanya kesenjangan bahasa yang terjadi pada masyarakat tutut yang
berbeda kelas sosial tentunya.
Daftar Pustaka
Aslinda, dan Leni Syafyahya.2010.pengantar sosiolinguistik. Bandung:
rafika Aditama
Ibrahim, Syukur. 1995. Sosiolinguisti. Surabaya: Usaha
Nasional
Nuzulia,Dian.2010. kedwibahasaan. N.design.wordpress.com
Sumarsono.2009. sosiolinguistik.yogyakarta: pustaka Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar