---Welcome---Selamat Datang---Herzlich willkommen---

Sponsored Ads

Sponsored Ads

Fanpage Facebook

Kamis, 13 November 2014

PERAN KEDWIBAHASAAN TERHADAP KELAS SOSIAL MASYARAKAT TUTUR

Peran Kedwibahasaan Terhadap Kelas Sosial Masyarakat Tutur

       I.            LATAR BELAKANG
Bahasa adalah suatu sistem lambang bunyi yang arbiter yang dipergunakan oleh masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.(Kridalaksana di dalam Aslinda, 2010: 1)
Bahasa dapat menggantikan peristiwa/kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh individu/kelompok. Dengan bahasa seorang individu atau kelompok dapat berinteraksi dengan kelompok atau individu lainnya. Bahasa juga sering dianggap sebagi produk social atau produk budaya, bahkan merupakan kegiatan tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk social atau budaya tentunya bahasa merupakan wadah aspirasi social, kegiatan dan perilaku masyarakat.
Bila kita lihat masalah penggunaan bahasa bukanlah milik perseorangan, melainkan milik suatu kelompok masyarakat, baik suatu kelompok budaya, kelompok umur, kelompok pekerjaan, maupun kelompok sosial. Jika dihubungkan dengan kedwibahasaan akan terlihat masalah kedwibahasaan. Hal ini bukan pula masalah perseorangan, melainkan masalah yang timbul dalam suatu kelompok pemakai bahasa. Dalam kelompok pemakai bahasa akan terjadi kontak bahasa sehingga diartikan, bahwa antara kontak bahasa dan dwibahasawan sangat erat kaitannya.
Oleh karena itu, bila berbicara tentang kelompok masyarakat atau kelas social yang terdapat didalamnya, tentunya tidak terlepas dari peran kedwibahasaan yang mampu menyesuaikan kapan dan dimana seseorang akan berbicara layaknya sebagai masyarakat yang terdidik atau kaum intelek, dan kapan masyarakat atau individu akan bertindak atau berbicara layaknya masyarakat tutur pada umumnya.

    II.            KEDWIBAHASAAN
Menurut Mackey (dalam Aslinda, 2010:24) kedwibahasaan adalah the alternative use of two of more languages by same  individual yaitu, kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seseorang. Dalam membicarakan kedwibahasaan tercakup beberapa pengertian, seperti masalah  tingkat, fungsi, pertukaran/alih kode, percampuran/campur kode, interferensi, dan integrasi.
Yang dimaksud dengan masalah tingkat adalah penguasaan bahasa oleh seseorang, maksudnya sejauh mana seorang itu mampu menjadi dwibahasawan atau sejauh manakah orang itu mampu mengetahui bahasa yang dipakainya.

Kontak bahasa terjadi pada masyarakat pemakai bahasa atau terjadi dalam situasi kemasyarakatan tempat seseorang mempelajari unsur-unsur sistem bahasa yang bukan bahasanya sendiri. Kontak bahasa meliputi segala peristiwa persentuhan antara dua bahasa oleh penutur dalam konteks sosial. Ciri yang menonjol dari sentuh bahasa adalah terdapatnya      kedwibahasaan/bilingualism   atau     keanekaragaman          bahasa /multilingualisme.
Menurut Ibrahim (1995:189) ada dua asumsi yang mengatakan bahwa bahasa-bahasa adalah objek, yang secara ideal di antara objek –objek itu terdapat batas-batas yang jelas. Berimplikasi bahwa setiap ucapan (utterance) dapat dikategorikan pada satu bahasa tertentu.
 Dalam kutipan di atas dapat diartikan bahwa bahasa adalah suatu objek  yang ideal dan memiliki batas-batas yang jelas, baik dari segi pengucapan, penggunaan, arti, tetapi tetap mengacu pada satu bahasa. Seorang dwibahasawan yang menguasai dua bahasa tentunya menggunakan dua bahasa dalam kehidupannya. Tetapi, biasanya tetap  ada satu bahasa yang akan dipakai atau tetap merujuk pada satu bahasa yang lebih sering digunakannya. Yaitu, bahasa pertama yang diperoleh dari keluarga ataupun lingkungannya.
2.1  Fungsi Kemasyarakatan Dan Kedudukan Masyarakat Bahasa
 Bahasa memiliki fungsi tertentu dalam pergaulan diantara sesama anggota sesuai kelompok /suku bangsa. Sebagai contoh, bahasa Indonesia dapat menjadi bahasa nasional,bahasa Negara, bahasa resmi, dan bahasa persatuan antarsuku bangsa .begitupun bahasa daerah, menjadi bahasa pengantar dalam suatu dserah dalam acara resmi, seperti pada acara adat yang diselenggarakan pada upacara adat daerah tersebut.  
 Menurut Nuzulia  (2011) Pendekatan sosiologi berkaitan dengan analisis ranah (domain). Pendekatan ini pertama dikemukakan oleh Fishman. Pendekatan sosiologi melihat adanya konteks institutional tertentu (domain) yang terkait dengan dwibahasa yang terdiri dari domain formal dan domain informal. Ranah (domain) didefinisikan sebagai konsep sosiokultural yang diabstraksikan dari topik komunikasi, hubungan peran antar komunikator, tempat komunikasi di dalam keselarasan lembaga masyarakat dan bagian dari aktivitas masyarakat tutur.
  Di sisi lain, ranah juga adalah konsep teoretis yang menandai satu situasi interaksi yang didasarkan pada pengalaman yang sama dan terikat oleh tujuan dan kewajiban yang sama, misalnya keluarga, ketetanggaan, agama, dan pekerjaan.  Sebagai contoh, apabila penutur berbicara di rumah dengan seorang anggota keluarga mengenai sebuah topik, maka penutur itu dikatakan berada pada ranah keluarga. Pendek kata, bahasa rendah (low) yang cenderung dipilih dalam domain keluarga, sedangkan bahasa tinggi dipergunakan dalam domain yang lebih formal, seperti pendidikan dan pemerintahan.
 III.            DWIBAHASAWAN
Dwibahasawan adalah masyarakat yang menguasai dua bahasa atau lebih yang digunakan secara bergantian, namun masing-masing bahasa mempunyai peranannya masing-masing. Contohnya masyarakat Indonesia dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa daerah sebagai bahasa intrakelompok. Hal ini dapat dilihat juga di Malaysia dengan bahasa Inggris dan Melayu, Filipina dengan bahasa Inggris dan Tagalog, dan di Haiti dengan bahasa Perancis dan Kreol Haiti.
Menurut  Weinreich dalam Aslinda (26:2010 )mengatakan seorang yang terlibat dalam praktek penggunaan dua bahasa secara bergantian itulah yang disebut dengan bilingual atau dwibahasawan. Tingkat penguasaan bahasa dwibahasawan yang satu berbeda dengan dwibahasawan yang lain, bergantung pada setiap individu yang mempergunakannya dan dwibahasawan dikatakan mampu berperan dalam perubahan bahasa.
Menurut  Sumarsono ( 2009: 36) meskipun dikatakan, di dalnyaam sebuah bahasa hanya ada sebuah ragam baku, ditemukan ada situasi yang unik dalam beberapa bahasa, yaitu dalam sebuah bahasa ditemukan ada dua ragam baku yang sama-sama diakui dan dihormati. Hanya saja, fungsi dan pemakaiannya berbeda. Peristiwa tersebut disebut diglosia.
3.1  Diglosia Dalam Masyarakat Aneka Bahasa
Ferguson melihat para penutur sesuatu bahasa, kadang-kadang memakai ragam bahasa tertentu dan memakai ragam lain untuk situasi lain. Kemudian ada suatu situasi yang di dalamnya ada dua ragam dari satu bahasa, hidup berdampingan dengan bahasa lain.
Sebaliknya, ada dua keadaan yaitu, dua kelompok masyarakat yang berbeda bahasa ternyata bisa saling mengerti meskipun mereka menggunakan bahasa sendiri-sendiri (Sumarsono 2009:23 )
Contoh nyata yang dapat di gambarkan dalam kutipan diatas, ialah keadaan di perbatasan Negara Belanda dan Jerman. Jika orang belanda berhubungan dengan “tetangga”, yang bersuku bangsa Jerman dan berbicara bahasa berbahasa Jerman,orang Belanda itu, bisa memakai bahasa Belanda, dan orang Jerman mengerti.

3.2  Diglosia Tanpa Bilingualisme
Kondisi yang diperlukan untuk  menciptakan eksistensi diglosia  tanpa bilingualisme adalah eksistensi sistem sosial yang relative umum yang di dalam keanggotaan kelompok diperoleh dari kelahiran dan tidak mudah hilang ( Ibrahim 1995:207).
 Kasus yang ekstrim dalam masalah di atas adalah di mana kelompok elite memilih untuk mengisolir diri dari populasi lain yang diajak berkomunikasi atau kalau berkomunikasi dengan mereka harus memakai penterjemah. Kelompok elite tersebut lebih suka memakai bahasa asing yang berstatus lebih tinggi  dalam komunikasi antara mereka sendiri.

 IV.            KELAS SOSIAL
Kelas sosial mengacu pada golongan orang-orang yang mengacu kepada  golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi , pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta dan sebagainya ( Sumarsono 2009: 43)
Seorang individu mungkin mempunyai status sosial yang lebih dari satu. Misalnya si A adalah seorang bapak dalam sebuah keluarga , dan juga berstatus sosial sebagai  seorang guru. Jika dia guru di sekolah negeri, dia akan masuk kedalam kelas pegawai negeri. Jika dia seorang sarjana, dia bisa masuk kelas sosial golongan “terdidik”. Ragam kelas sosial masyarakat tergantung pada tingkat kehidupan msyarakat. Semakin maju tingkat kehidupan masyarakat,maka  semakin banyak ragam kelas sosialnya.
Kelas sosial pada masyarakat, ada yang digolongkan kelas bawah, menengah, atas, dan kelas atas dan menengah. Kelas menengah dibagi lagi kelas atas-atas, dan kelas atas bawah, kelas menengah-atas dan kelas menengah-bawah.

4.1  Ragam Bahasa Kelas Sosial
Ragam bahasa boleh dikatakan merupakan dialek sosial tersendiri. Jika anggota dari kelas bawah masuk ke perguruan tinggi menjadi mahasiswa, dia segera meninggalkan dialek sosialnya, dan digantikan dengan bahasa ragam baku yang biasa dipakai di kalangan universitas dan kalangan akademis.
Menurut Sumarsono (2009:45) ragam bahasa dialek regional dapat dibedakan secara cukup jelas dengan dialek regional yang lain. Batas perbedaan itu, bertepatan dengan batas-batas alam seperti laut, sungai, gunung, jalan raya, hutan dan sebagainya. Atau mungkin perbedaan itu, ditentukan oleh organisasi politik atau administrasi pemerintahan.
Contoh yang dapat digambarkan di wilayah Indonesia sendiri kelas kelompok pejabat yang mempunyai kedudukan tinggi . tetapi ragam bahasanya nonbaku. Ragam bahasa mereka dapatdikenali dari ragam lafal mereka,yaitu akhiran –kan, yang dilafalkan –ken, jadi perbedaan atau penggolongan masyarakat manusia bisa tercermin dalam ragam bahasa golongan masyarakat itu. Dengan kata lain secara linguistik dapat dikatakan jika dua dialek regional berdampingan , di dekat perbatasan itu, bisa jadi kedua unsure dialek itu akan “bercampur”. Semakin jauh dari batas itu, perbedaan itu semakin  besar.

4.2   Kelas Sosial Dan Ragam Baku
Perubahan  bahasa sebagai hasil dari kontak bahasa. Di samping kontak bahasa, akan terjadi ambil-mengambil ataupun saling memindahkan pemakaian unsure-unsur bahasa , dapat pula terjadi percampuran, atau terjadi pemindahan identitas bahasa pada bahasa kedua atau sebaliknya ( Aslinda, 2010:26).
Dari kutipan di atas  suatu pernyataan tentang tujuan dan sasaran sosiolingistik menekankan pada pentingnya pengungkapan dan pencarian serta spesifikasi kaedah-kaedah dalam cara yang sangat jelas .
Masyarakat umum yang awam pada selik-beluk bahasa jelas tidak tau banyak tentang bahasa atau ragam baku, tidak tau banyak tentang kaidah ragam baku. Mereka seolah berjalan sendiri menurutiramanya sendiri. Hal ini menyebabkan yang sudah umum dan biasa dipakai masyarakat luas dapat tidak dianggap baku oleh ,masyarakat yang mempunyai otoritas, sebaliknya yang ditentukan baku jarang digunakan oleh masyarakat. Akibatnya, dalam bahasa selalu hidup dua bentukan. Misalnya bentuk-bentuk yang dibakukan ialah system dan analisis, tetapi yang umum dipakai adalah istilah system dan analisa.

    V.            PERISTIWA TUTUR
Bahasa yang berfungsi komunikasi secara luas (eksternal) sebuah Negara bisa menggunakan bahasa untuk hubungan kontak dengan Negara lain, misalnya, sebagai fungsi’ window on the world’ yang diartikan sebagai pembuka  jendela dunia (Ibrahim 1995:282).
Peristiwa tutur adalah berlangsungnya atau terjadinya interaksi linguistic dalam suatu ujarn atau lebih yang melibatkan penutur dan lawan tuturnya.
Dalam setiap komunikasi interaktif linguistik, manusia saling menyampaikan informasi, baik berupa gagasan, maksud, pikiran, perasaan, maupun emosi secara langsung. Hubunganya dengan peristiwa tutur adalah berlangsungnya atau terjadinya interaksi liunguistik dalam suatun ujaran yang melibatkan dua pihak, antara penutur dengan mitra tuturnya.
Menurut Hymes dalam Aslinda (2010: 32), bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen yang diakronimkan menjadi SPEAKING  yang terdiri dari Setting dan Scene, Participant,Ends, Act Sequences, Key, Instrumentalies, Norm of Interaction and Interpretation, and Gendres. Penjabaran SPEAKING adalah sebagai berikut:
a)   Setting, berhubungan dengan waktu dan tempat penuturan berlangsung, sementara Scene mengacu pada situasi, tempat, dan waktu terjadinya penuturan.
b)   Participant, adalah peserta tutur, atau pihak-pihak yang terlibat dalam penuturan, yakni ada penutur dan mitra tutur.
c)   Ends mengacu pada maksud dan tujuan penuturan.
d)  Act sequences, berkenaan dengan bentuk dan isi ujaran.
e)   Key, berhubungan dengan nada suara
f)    Instrumentalitiens, berkenaan dengan saluran dan bentuk bahasa yang digunakan penutur.
g)   Norm of interaction and interpretation, ialah norma-norma yang harus dipahami dan berlaku dalam interaksi.
h)   Genre mengacu pada bentuk penyampaian.

 VI.            TINDAK TUTUR
Suatu pernyataan tentang tujuan dan sasaran sosiolinguistik (fishman dalam Ibrahim,1995:142), menekannkan pada pentingnya pengungkapan dan pencarian serta spesifikasi kaedah-kaedah sosiolinguistik dalam cara yang sangat jelas. Dalam hal ini mencari kaedah-kaedah atau norma-norma yang menjelaskan serta memaksakan tingkah laku bahasa dan tingkah laku ke arah/terhadap bahasa di dalam komunitas ujar,. Kaedah pengguanaan bahasa didefinisikan kompeten komunikatif para pemakaiannya dalam arti kemampuan nya menyeleksi kode yang cocok  dan mode yang tepat untuk setting dan aktifitas tertentu.
Searle dalam Aslinda (2010:33) mengemukakan, bahwa dalam semua interaksi lingual terdapat tindak tutur. Interaksi lingual bukan hanya lambang, kata atau kaliamat, melainkan lebih tepat bila disebut produk atau hasil dari lambang , kata, atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur.
Menurut Aslinda, (2010:34) Ada empat faktor yang menentukan  tindak tutur diantaranya, adalah sebagai berikut:
1.      Dengan bahasa apa dia harus bertutur
2.      Kepada siapa dia harus menyampaikan tuturan
3.      Dalam situasi bagaimana tuturan itu disampaikan
4.      Kemungkinan-kemungkinan struktur manakah yang ada dalam bahasa yang digunakan
 Dikatakan Tindak tutur adalah produk atau hasil dari suatu kaliamat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari interaksi lingual. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tindak tutur yang dikatakan adalah sepenggal tuturan yang dihasilkan sebagai bagian terkecil dalam interaksi lingual. Tindak tutur dapat berupa pernyataan, pertanyaan, dan perintah.
Dengan demikian, satu maksud tuturan perlu dipertimbangkan berbagai kemungkinan tindak tutur sesuai dengan posisi penutur, situasi tutur, dan kemungkinan struktur yang ada dalam bahasa itu.           

VII.            KESIMPULAN
Kedwibahsaan adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seseorang.
Dwibahasawan adalah masyarakat yang menguasai dua bahasa atau lebih yang digunakan secara bergantian, namun masing-masing bahasa mempunyai peranannya masing-masing.
Kelas sosial mengacu pada golongan orang-orang yang mengacu kepada  golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi , pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta dan sebagainya.
Peristiwa tutur adalah berlangsungnya atau terjadinya interaksi linguistic dalam suatu ujarn atau lebih yang melibatkan penutur dan lawan tuturnya.
Tindak tutur adalah semua interaksi lingual terdapat tindak tutur. Interaksi lingual bukan hanya lambang, kata atau kaliamat, melainkan lebih tepat bila disebut produk atau hasil dari lambang , kata, atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur.
Peran kedwibahasaan terhadap kelas sosial  suatu masyarakat tutur tidak terlepas dari kaitan antara kedwibahasaan, dwibahasawan, kelas sosial, peristiwa tutur, dan tindak tutur. Dwibahasa adalah media yang dipakai oleh dwibahasawan untuk mengungkapkan, atau mengujarkan kata. Kelas sosial adalah sebagai pembatas atau sekat, yang menentukan kapan dan dimana suatu peristiwa tutur dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisinya, sehingga produk dari suatu tindak tutur dapat disamapaikan dengan baik oleh penutur dan dapat diterima dengan baik oleh mitra tutur tanpa adanya kesenjangan bahasa yang terjadi pada masyarakat tutut yang berbeda kelas sosial tentunya.

Daftar Pustaka
Aslinda, dan Leni Syafyahya.2010.pengantar sosiolinguistik. Bandung: rafika Aditama
Ibrahim, Syukur. 1995. Sosiolinguisti. Surabaya: Usaha Nasional
Nuzulia,Dian.2010. kedwibahasaan. N.design.wordpress.com

Sumarsono.2009. sosiolinguistik.yogyakarta: pustaka Pelajar

Tidak ada komentar: