Interferensi dan Integrasi
BAB
I
PENDAHULUAN
Bahasa
selalu mengalami perkembangan dan perubahan. Perkembangan dan perubahan itu
terjadi karena adanya perubahan sosial, ekonomi, dan budaya. Perkembangan
bahasa yang cukup pesat terjadi pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kontak pada bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan lainnya dapat
menyebabkan suatu bahasa terpengaruh oleh bahasa yang lain. Proses saling
mempengaruhi antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain tidak dapat
dihindarkan. Bahasa sebagai bagian integral kebudayaan tidak dapat lepas dari
masalah di atas. Saling mempengaruhi antarbahasa pasti terjadi, misalnya
kosakata bahasa yang bersangkutan, mengingat kosakata itu memiliki sifat terbuka.
Menurut Weinrich (dalam Chaer dan Agustina 1995:159) kontak bahasa merupakan
peristiwa pemakaian dua bahasa oleh penutur yang sama secara bergantian. Dari
kontak bahasa itu terjadi transfer atau pemindahan unsur bahasa yang satu ke
dalam bahasa yang lain yang mencakup semua tataran. Sebagai konsekuensinya,
proses pinjam meminjam dan saling mempengaruhi terhadap unsur bahasa yang lain
tidak dapat dihindari. Suwito (1985:39-40) mengatakan bahwa apabila dua bahasa
atau lebih digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama, dapat dikatakan
bahwa bahasa tesebut dalam keadaan saling kontak. Dalam setiap kontak bahasa
terjadi proses saling mempengaruhi antara bahasa satu dengan bahasa yang lain.
Sebagai akibatnya, interferensi akan muncul, baik secara lisan maupun tertulis.
Adanya
kedwibahasaan juga akan menimbulkan adanya interferensi dan integrasi bahasa.
Interferensi bahasa yaitu penyimpangan norma kebahasaan yang terjadi dalam
ujaran dwibahasawan karena keakrabannya terhadap lebih dari satu bahasa, yang disebabkan
karena adanya kontak bahasa.
Selain
kontak bahasa, faktor penyebab timbulnya interferensi menurut Weinrich (dalam
Sukardi 1999:4) adalah tidak cukupnya kosakata suatu bahasa dalam menghadapi
kemajuan dan pembaharuan. Selain itu, juga menghilangnya kata-kata yang jarang
digunakan, kebutuhan akan sinonim, dan prestise bahasa sumber. Kedwibahasaan
peserta tutur dan tipisnya kesetiaan terhadap bahasa penerima juga merupakan
faktor penyebab terjadinya interferensi.
BAB II
PEMBAHASAN
Interferensi dan Integrasi
1. Interferensi
Alwasilah
(1985:131) mengetengahkan pengertian interferensi berdasarkan rumusan Hartman
dan Stonk bahwa interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya
kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain
mencakup pengucapan satuan bunyi, tata bahasa, dan kosakata.
Sementara
itu, Jendra (1991:109) mengemukakan bahwa interferensi meliputi berbagai aspek
kebahasaan, bisa menyerap dalam bidang tata bunyi (fonologi), tata bentukan kata
(morfologi), tata kalimat (sintaksis), kosakata (leksikon), dan tata makna
(semantik).
Menurut
Nababan (1984), Interferensi merupakan kekeliruan yang terjadi sebagai akibat
terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau
dialek kedua. Senada dengan itu, Chaer dan Agustina (1995: 168) mengemukakan
bahwa interferensi adalah peristiwa penyimpangan norma dari salah satu bahasa
atau lebih.
Menurut
pendapat Chaer (1998:159) interferensi pertama kali digunakan oleh Weinrich untuk
menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya
persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh
penutur yang bilingual. Interferensi mengacu pada adanya penyimpangan dalam
menggunakan suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa lain.
Serpihan-serpihan klausa dari bahasa lain dalam suatu kalimat bahasa lain juga
dapat dianggap sebagai peristiwa interferensi.
Interferensi
merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting dan paling dominan dalam perkembangan
bahasa. Dalam bahasa besar, yang kaya akan kosakata seperti bahasa Inggris dan
Arab pun, dalam perkembangannnya tidak dapat terlepas dari interferensi,
terutama untuk kosakata yang berkenaan dengan budaya dan alam lingkungan bahasa
donor. Gejala interferensi dari bahasa yang satu kepada bahasa yang lain
sulit untuk dihindari. Terjadinya gejala interferensi juga tidak lepas dari
perilaku penutur bahasa penerima.
Jendra
(1991:105) menyatakan bahwa dalam interferensi terdapat tiga unsur pokok, yaitu:
1.
Bahasa sumber atau bahasa donor,
yaitu bahasa yang menyusup unsur-unsurnya atau sistemnya ke dalam bahasa lain,
2.
Bahasa penerima atau bahasa
resipien, yaitu bahasa yang menerima atau yang disisipi oleh bahasa sumber,
3.
Adanya unsur bahasa yang terserap
(importasi) atau unsur serapan.
Dalam
komunikasi bahasa yang menjadi sumber serapan pada saat tertentu akan beralih
peran menjadi bahasa penerima pada saat yang lain, dan sebaliknya. Begitu juga
dengan bahasa penerima dapat berperan sebagai bahasa sumber. Dengan demikian
interferensi dapat terjadi secara timbal balik.
1.1 Jenis-Jenis Interferensi
Yusuf
(1994:71) membagi peristiwa interferensi menjadi empat jenis, yaitu
(1)
Interferensi Fonologi
Interferensi ini terjadi karena pemakaian bunyi satu bahasa
ke dalam bahasa yang lain dalam tuturan dwibahasawan.
(2)
Interferensi Gramatikal
Interferensi ini terjadi apabila dwibahasawan
mengidentifikasi morfem atau tata bahasa pertama kemudian menggunakannya dalam
bahasa keduanya.
(3) Interferensi Leksikal
Interferensi ini bisa terjadi dalam berbagai bentuk,
misalnya terjadi pada kata dasar, tingkat kelompok kata maupun frasa.
(4)
Interferensi Semantik
Interferensi ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu (a)
interferensi perluasan makna, (b) interferensi penambahan makna, dan (c)
interferensi penggantian makna.
1.2 Faktor Penyebab Terjadinya
Interferensi
Selain
kontak bahasa, menurut Weinrich (1970:64-65) ada beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya interferensi, antara lain:
1)
Kedwibahasaan peserta tutur
Kedwibahasaan
peserta tutur merupakan pangkal terjadinya interferensi dan berbagai pengaruh
lain dari bahasa sumber, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing. Hal itu
disebabkan terjadinya kontak bahasa dalam diri penutur yang dwibahasawan, yang
pada akhirnya dapat menimbulkan interferensi.
2)
Tipisnya kesetiaan pemakai bahasa penerima
Tipisnya
kesetiaan dwibahasawan terhadap bahasa penerima cenderung akan menimbulkan
sikap kurang positif. Hal itu menyebabkan pengabaian kaidah bahasa penerima yang
digunakan dan pengambilan unsur-unsur bahasa sumber yang dikuasai penutur
secara tidak terkontrol. Sebagai akibatnya akan muncul bentuk interferensi
dalam bahasa penerima yang sedang digunakan oleh penutur, baik secara lisan
maupun tertulis.
3) Tidak
cukupnya kosakata bahasa penerima
Perbendaharaan
kata suatu bahasa pada umumnya hanya terbatas pada pengungkapan berbagai segi
kehidupan yang terdapat di dalam masyarakat yang bersangkutan, serta segi
kehidupan lain yang dikenalnya. Oleh karena itu, jika masyarakat itu bergaul
dengan segi kehidupan baru dari luar, akan bertemu dan mengenal konsep baru
yang dipandang perlu. Karena mereka belum mempunyai kosakata untuk
mengungkapkan konsep baru tersebut, lalu mereka menggunakan kosakata bahasa
sumber untuk mengungkapkannya, secara sengaja pemakai bahasa akan menyerap atau
meminjam kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkan konsep baru tersebut.
Faktor ketidak cukupan atau terbatasnya kosakata bahasa penerima untuk
mengungkapkan suatu konsep baru dalam bahasa sumber, cenderung akan menimbulkan
terjadinya interferensi.
4)
Menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan
Kosakata
dalam suatu bahasa yang jarang dipergunakan cenderung akan menghilang. Jika hal
ini terjadi, berarti kosakata bahasa yang bersangkutan akan menjadi kian
menipis. Apabila bahasa tersebut dihadapkan pada konsep baru dari luar, di satu
pihak akan memanfaatkan kembali kosakata yang sudah menghilang dan di lain
pihak akan menyebabkan terjadinya interferensi, yaitu penyerapan atau
peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber.
5)
Kebutuhan akan sinonim
Sinonim
dalam pemakaian bahasa mempunyai fungsi yang cukup penting, yakni sebagai
variasi dalam pemilihan kata untuk menghindari pemakaian kata yang sama secara
berulang-ulang yang bisa mengakibatkan kejenuhan. Dengan adanya kata yang
bersinonim, pemakai bahasa dapat mempunyai variasi kosakata yang dipergunakan
untuk menghindari pemakaian kata secara berulang-ulang.
6)
Prestise bahasa sumber dan gaya bahasa
Prestise
bahasa sumber dapat mendorong timbulnya interferensi, karena pemakai bahasa
ingin menunjukkan bahwa dirinya dapat menguasai bahasa yang dianggap
berprestise tersebut. Prestise bahasa sumber dapat juga berkaitan dengan
keinginan pemakai bahasa untuk bergaya dalam berbahasa. Interferensi yang
timbul karena faktor itu biasanya berupa pamakaian unsur-unsur bahasa sumber
pada bahasa penerima yang dipergunakan.
7)
Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu
Terbawanya
kebiasaan dalam bahasa ibu pada bahasa penerima yang sedang digunakan, pada umumnya
terjadi karena kurangnya kontrol bahasa dan kurangnya penguasaan terhadap
bahasa penerima. Hal ini dapat terjadi pada dwibahasawan yang sedang
belajar bahasa kedua, baik bahasa nasional maupun bahasa asing. Dalam
penggunaan bahasa kedua, pemakai bahasa kadang-kadang kurang kontrol. Karena
kedwibahasaan mereka itulah kadang-kadang pada saat berbicara atau menulis
dengan menggunakan bahasa kedua yang muncul adalah kosakata bahasa ibu yang
sudah lebih dulu dikenal dan dikuasainya.
2. Integrasi
Integrasi
adalah penggunaan unsur bahasa lain secara sistematis seolah-olah merupakan
bagian dari suatu bahasa tanpa disadari oleh pemakainya (Kridalaksana:
1993:84). Salah satu proses integrasi adalah peminjaman kata dari satu bahasa
ke dalam bahasa lain.
Oleh
sebagian sosiolinguis, masalah integrasi merupakan masalah yang sulit dibedakan
dari interferensi. Chair dan Agustina (1995:168) mengacu pada pendapat Mackey,
menyatakan bahwa integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan
dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi bagian dari bahasa tersebut.
Tidak dianggap lagi sebagai unsur pinjaman atau pungutan.
Berkaitan
dengan hal tersebut, ukuran yang digunakan untuk menentukan keintegrasian suatu
unsur serapan adalah kamus. Dalam hal ini, jika suatu unsur serapan atau
interferensi sudah dicantumkan dalam kamus bahasa penerima, dapat dikatakan
unsur itu sudah terintegrasi. Sebaliknya, jika unsur tersebut belum tercantum
dalam kamus bahasa penerima unsur itu belum terintegrasi.
Dalam
proses integrasi unsur serapan itu telah disesuaikan dengan sistem atau kaidah
bahasa penyerapnya, sehingga tidak terasa lagi keasingannya. Penyesuaian bentuk
unsur integrasi itu tidak selamanya terjadi begitu cepat, bisa saja berlangsung
agak lama. Proses penyesuaian unsur integrasi akan lebih cepat apabila bahasa
sumber dengan bahasa penyerapnya memiliki banyak persamaan dibandingkan unsur
serapan yang berasal dari bahasa sumber yang sangat berbeda sistem dan
kaidah-kaidahnya.
Pada bidang
kosakata dalam bahasa Indonesia misalnya muncul kata-kata seperti aljabar,
bendera, fisika, jendela, kabar, kimia, matematika, mobil, pulpen, televisi,
telepon, dan lain-lainl yang merupakan integrasi dari bahasa asing. Atau
kata-kata seperti batik, cewek, cowok, jorok, nyeri, pantas, cacingan, dan lain
sebagainya sebagai akibat peristiwa integrasi dari bahasa Indonesia.
BAB III
KESIMPULAN
Interferensi dan
integrasi merupakan bagian dari sosiolinguistik yang terjadi akibat adanya
penggunaan dua bahasa atau lebih dalam masyarakat tutur yang multilingual.
Interferensi dan integrasi timbul sebagai akibat kontak bahasa, yakni pemakaian
satu bahasa di dalam bahasa sasaran atau kebalikannya yang terjadi pada seorang
penutur bilingual. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena berkaitan erat dengan
alih kode dan campur kode. Dalam peristiwa interferensi digunakan unsur-unsur
bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa, yang dianggap sebagai suatu
kesalahan dalam penggunaan bahasa tulis maupun lisan yang terjadi pada suatu
masyarakat bahasa, karena menyimpang dari kaidah atau aturan bahasa yang
digunakan. Penyebab terjadinya interferensi adalah kemampuan si penutur dalam
menggunakan bahasa tertentu sehingga dipengaruhi oleh bahasa lain. Sedangkan
integrasi dipandang sebagai sesuatu yang diperlukan jika tidak ada padanan kata
dalam bahasa sasaran sehingga akhirnya menjadi perbendaharaan kata baru yang
telah disesuaikan ejaan dan pelafalannya dengan bahasa sasarannya dan dianggap
sebagai perbendaharaan kata baru.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A Chaedar. 1985. Beberapa
Madhab dan dikotomi Teori Linguistik. Bandung: Angkasa.
Ardiana, Leo Idra. 1990. Analisis
kesalahan Berbahasa. FPBS IKIP Surabaya.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik
Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina.
1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Nababan. P.W.J. 1984. Sosiolingustik.
Jakarta: Gramedia.
Jendra. I Wayan. 1991. Dasar-Dasar
Sosiolinguistik. Denpasar: Ikayana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar